PM Canada Dan Komunitas Ahmadiyah Canada

Kamis, 06 November 2008

Ahmadiyah Berlin dan Cak Nun

(Ahmadiyah Berlin dan Cak Nun)
http://www.padhangm bulan.com/ info/4-berita/ 121-ahmadiyah- berlin

Pada kesempatan itu Emha dan Novia menyempatkan bertemu dengan Jemaat Ahmadiyah, berikut ini adalah penuturan Emha yang disampaikan melalui email; Selama ini terdapat kesalahpahaman dan disinformasi serius tentang 'kasus' Ahmadiyah di Indonesia. Berita-berita yang sampai ke masyarakat Ahmadiyah di sejumlah Negara menyebutkan bahwa yang terjadi di Indonesia bukan hanya aktivitas Ahmadiyah dilarang, tapi juga para pimpinan atau Imam-Imam Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, dibunuh. Demikian menurut Emha Ainun Nadjib, sesudah perjumpaannya dengan Imam Abdel Basith Thariq (Imam Ahmadiyah di Berlin, Jerman) 24 Oktober 2008 yang lalu.

Pertemuan itu berlangsung di Masjid Khadija, markas Jemaat Ahmadiyah Qodiyan di wilayah yang dulunya terletak di Berlin Timur sebelum reunifikasi dua Jerman beberapa tahun silam. "Kecanggihan teknologi informasi tidak banyak menolong berkurangnya kemungkinan distorsi dan deviasi atau bahkan pembalikan fakta-fakta tentang sesuatu hal, terutama yang menyangkut Islam", katanya.

Jemaat Ahmadiyah dan Kaum Muslimin di Jerman mengalami berbagai 'ujian'. Berdirinya Masjid Khadija mendapat tentangan keras dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat yang dulunya adalah rakyat DDR atau Negara sosialisme Jerman Timur yang memang tidak punya pengalaman berinteraksi dengan Ummat Islam. Tidak sedikit di antara masyarakat lokal tersebut yang bukan hanya fobi atau bahkan anti-Islam, tapi juga belum bisa menerima pergaulan dengan "orang asing" dengan Agama apapun. Akan tetapi konstitusi Negara Jerman mensyahkan berdirinya Masjid itu dan secara konsekwen aparat kepolisian menjaga keamanannya.

Pertemuan Emha dengan Imam Ahmadiyah Berlin itu untuk 'memastikan' pandangan Ahmadiyah di kota besar Eropa tentang tiga hal. Pertama, apakah Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi atau bukan. Kedua, hujjah atau argumentasi kenabiannya. Ketiga,posisi dan fungsi kitab "Tadzkiroh".

Sejauh ini yang dimengerti oleh banyak kalangan di Indonesia, alasan kenabian Mirza Ghulan Ahmad adalah menyangkut "khataman-nabiyyin" atau penutup para Nabi. Menurut tafsir Ahmadiyah, kata "khatam" bukan bermakna "penutup" melainkan "cincin". Muhammad SAW adalah "cincin"nya para Nabi, semacam mutiara indah para Nabi. Argumentasi kedua menyangkut Hadits Nabi Muhammad SAW tentang pelaku hijrah yang terakhir, di mana Ulama Ahmadiyah berbeda pendapat dengan Ulama lain tentang salah satu kata dari kalimat Hadits itu.

Emha mengatakan Imam Ahmadiyah di Berlin itu menyatakan dengan tegas bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Argumentasi utamanya adalah kalau sesudah Muhammad SAW tidak ada Nabi, maka Nabi Isa tidak akan bisa turun lagi ke bumi sebagai Al-Masih atau Messiah atau Ratu Adil.

Akan tetapi dinyatakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad sama sekali tidak mengurangi kebesaran dan keagungan Nabi Muhammad SAW. "Justru Mirza Ghulam Ahmad diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan keagungan dan keindahan Rasulullah Muhammad SAW", kata Emha menirukan Abdel Basith Thariq (Imam Ahmadiyah di Berlin), "Muhammad adalah Maestro, Mirza Ghulam Ahmad hanya salah seorang murid beliau, pengagum beliau, pecinta beliau, sehingga kesungguhan cintanya membuat Allah memberinya wahyu dan mengangkatnya sebagai Nabi yang bertugas menyebarkan Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Kitab Tadzkiroh adalah wahyu Allah kepada Mirza Ghulam Ahmad yang dimaksudkan untuk menjunjung keindahan Al-Quran dan turut menyebarkan kebenaran dan keindahannya" .

Di bagian luar maupun dalam Masjid Khadija yang didirikan oleh Jemaat Ahmadiyah itu terdapat berbagai tanda dan tulisan-tulisan sebagaimana yang terdapat pada Masjid Ummat Islam pada umumnya: kaligrafi "Allah", "Muhammad", "Syahadatain" , nama-nama Khalifah Empat, Asmaul Husna, di bagian atap dalam Masjid tertulis ayat "Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub" (Niscaya dengan mengingat Allah-lah ketenangan hati didapatkan). "Semua yang saya kemukakan ini hanya report dan tidak ada opini saya sendiri", kata Emha.




Read More......

Selasa, 04 November 2008

Toleransi Identitas Muslim

Jadikan Toleransi sebagai Modal

October 25, 2008 by zuhairimisrawi

Para pendiri bangsa telah menciptakan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya penuh toleransi dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dan pedoman hidup bersama.

Keragaman identitas bangsa Indonesia yang sejak awal disadari pendiri bangsa itu kini mulai dinafikan seiring dengan perkembangan dunia yang semakin mengglobal dan kepemimpinan bangsa yang lemah.

Bagi Zuhairi Misrawi, Koordinator Program Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, modal toleransi yang telah dikukuhkan itu masih menjadi toleransi yang pasif. Sebuah bentuk toleransi yang hanya didasari pada kepentingan bersama untuk hidup damai dan harmonis di antara perbedaan agama, ras, suku, budaya, dan bahasa.

Namun, itu saja tidak cukup. Toleransi pasif harus dikembangkan menjadi toleransi yang aktif. Kebersamaan yang telah terwujud harus menjadi modal dan jembatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

”Toleransi mampu mewujudkan demokrasi dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan kemiskinan,” katanya. Toleransi harus menjadi spirit untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial, politik, dan budaya yang menjerat bangsa Indonesia.

Intoleransi

Namun, kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun. Intoleransi menebal yang ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan saling curiga di antara sesama anak bangsa.

Hegemoni mayoritas atas minoritas semakin menebal, menggantikan kasih sayang, tenggang rasa, dan semangat untuk berbagi. Kualitas, visi, dan filosofi mulai dikalahkan oleh kuantitas, arogansi, dan provokasi.

Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen politik untuk menjadikan toleransi sebagai jalan keluar mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa terpuruk. Bangsa Indonesia tak yakin toleransi mampu menjadi solusi atas problematika hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah kecenderungan intoleransi dan konflik.

”Padahal, agama bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera,” ujarnya.

Berbagai perkembangan politik, sosial, dan ekonomi global turut memengaruhi menguatnya intoleransi di Indonesia. Sikap konsumtif masyarakat, termasuk dalam pemikiran, membuat bangsa lebih yakin dengan nilai dan ajaran dari luar negeri dibandingkan dengan kemampuan bangsa sendiri untuk menciptakan nilai yang pas bagi bangsa.

Potensi Indonesia

Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya relatif lebih toleran karena Indonesia memiliki kesepakatan politik dan peraturan yang mengatur tentang toleransi. Namun, kebijakan toleransi itu tidak ditopang dengan nilai toleransi yang cukup. Akibatnya, kesetaraan dan kesempatan yang sama untuk membangun bangsa belum dirasakan seluruh anak bangsa.

Jika menguatnya intoleransi tidak segara diatasi negara, Indonesia dapat menjadi negara zero tolerance yang menafikan keragaman. Berbagai peradaban dunia telah membuktikan pengabaian toleransi dalam kehidupan berbangsa dan kegagalan kebijakan politik melindungi keragaman negara dapat menjadikannya sebagai negara gagal.

Namun, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan mampu menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara damai, Indonesia memiliki modal yang besar untuk mengembangkan pemikiran keagamaan yang konstruktif bagi demokrasi dan toleransi. Ditambah dengan nilai budaya yang beragam, Indonesia dapat menjadi produsen pemikiran Islam moderat dan dakwah yang damai.

Kesempatan itu semakin besar akibat kegagalan negara-negara Barat dalam mengembangkan demokrasi dan toleransi. Klaim atas kebenaran dan kebencian kelompok mayoritas atas minoritas semakin menguat seiring dengan gencarnya perang melawan terorisme global.

Di negara-negara Muslim sendiri, semangat untuk menghargai kelompok lain justru semakin berkurang. Sebagian besar negara Muslim juga masih disibukkan oleh persoalan-persoalan domestik yang mengekang kemajuan yang didambakan.

”Model keislaman di Indonesia yang berhasil membangun demokrasi dalam tataran nilai dan praktis mulai dilirik masyarakat global,” katanya.

Indonesia memiliki institusi mandiri yang mampu menyokong pengembangan pemikiran agama yang moderat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki visi kebangsaan yang kuat dapat memainkan perannya.

Pesantren-pesantren yang dimiliki NU serta sekolah-sekolah yang dimiliki Muhammadiyah dapat menjadi basis pengembangan pemikiran yang tidak hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat doktrinal, tetapi juga sejarah, filsafat, dan norma keagamaan. Jika nilai-nilai keagamaan yang dikembangkan lembaga- lembaga itu dirumuskan dalam konteks modern, maka nilai-nilai itu akan menjadi sedekah yang sangat berarti dari umat Islam Indonesia bagi dunia.

Mayoritas-minoritas

Persoalan mayoritas-minoritas selalu mengemuka saat membincangkan toleransi. Namun, hal ini dapat diatasi jika prinsip kesetaraan dikedepankan.

Kesetaraan akan terwujud jika dilandasi semangat keterbukaan yang akan membuka wawasan dan hati serta menghilangkan kebencian dan kecurigaan terhadap pihak lain. Kesetaraan juga akan tercapai jika tiap pihak mengakui perbedaan dengan yang lain.

Negara sebenarnya memiliki tanggung jawab terbesar untuk mewujudkan kesetaraan di antara seluruh warganya. Namun, peran ini belum dijalankan negara dan justru diperankan oleh kelompok masyarakat madani.

Keyakinan Zuhairi atas prinsip kesamaan manusia tanpa memandang identitas tak terlepas dari pendidikannya di pesantren. Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep, KH Muhammad Idris Jauhari, selalu mengajarnya untuk bebas berpikir dan belajar.

Pergaulannya dengan berbagai kelompok masyarakat lintas agama dan bangsa semakin membuka cakrawalanya akan arti penting toleransi (M. ZAID WAHYUDI, Harian Kompas, 17 Mei 2008)
www.zuhairimisrawi.wordpress.com
Read More......

Jumat, 26 September 2008

Puasa Ramadhan

Puasa Mengharap Ridha Allah


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah [2]:183)

Di dalam ayat ini Allah Taala dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan dari ibadah puasa yang dilakukan adalah untuk mencapai ketakwaan. Artinya sebagai hasil yang diharapkan dari puasa tersebut, harus tercipta satu bentuk kemajuan demi kemajuan dalam hal kedekatan hubungan dengan Allah Taala. Sehingga YM Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala (keridhoan) Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari)
Dan beliau juga bersabda : Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau. (HR Bukhari)

Oleh karena itu Rasulullah saw menasehatkan, niatkanlah puasa kalian hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah Taala. Jangan pernah meniatkan puasa untuk maksud-maksud yang lain. Sehingga dalam sebuah hadits yang lain ada sebuah riwayat, dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Allah berfirman : Semua amal shaleh anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kalinya, bahkan sampai 700 kalinya, kecuali puasa, sebab puasa adalah milik-Ku dan hanya Aku lah yang akan membalasnya, hal ini dikarenakan seseorang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Orang yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yakni kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika menghadap Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa itu dalam pandangan Allah lebih harum dari minyak kesturi. Puasa adalah perisai. Jika seseorang sedang puasa, janganlah ia berbuat atau berkata yang tidak senonoh. Jika ada seseorang yang memakinya, hendaklah ia mengatakan : Maaf aku sedang puasa. (HR Bukhari-Muslim)
Dari hadits-hadits ini dapat dipahami bahwa puasa melatih kita untuk melakukan apapun hanya dengan satu tujuan untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala yaitu untuk mencari kesenangan Allah Ta’ala. Ibadah apapun yang kita lakukan tidak akan mendapat berkat apapun kalau tidak diniatkan untuk mencari mardhotillah. Allah Taala berfirman :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (al-Baqarah [2]:207)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah [2]:208)
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa, orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah Taala adalah orang-orang yang mampu mempersembahkan ketundukan, kepatuhan, keitaatan dan penyerahan diri yang sempurna kepada Allah Taala dan Rasul-Nya. Apabila ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah Taala dan Rasul-Nya tidak diupayakan dengan maksimal, maka ridha Allah Taala pun akan semakin menjauh.
Di dalam Tafsir Kabir dalam kaitannya dengan ayat ini, Hdh. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra menjelaskan: Perhatian mereka adalah hanya untuk mencari kesenangan Tuhan. Mereka telah menyerahkan seluruh jiwanya untuk tujuan itu. Mereka menggunakan berbagai hal di dunia ini bukan karena benda-benda duniawi ini menyenangkan mereka. Akan tetapi karena Hukum Tuhan yang telah membuatnya sebagai sarana pendukung kehidupan sehingga mereka mendapatkan kemudahan di dalam pilihannya untuk mengabdi kepada Tuhan. Dimana mereka meyakini mendapatkan segala sesuatu dari dunia ini tidak atas usahanya sendiri melainkan semuanya berasal dari Tuhan. Untuk berbagai pengabdian kepada-Nya, Tuhan tentu saja yang paling memiliki rasa belas kasih yang lebih besar kepada mereka, dan rasa belas kasih Tuhan kepada mereka memiliki kelembutan seperti adonan kue dengan ragi yang sempurna.

Puasa adalah ibadah yang sangat private, hanya kita dan Allah Taala sendiri yang tahu. Apa niat kita berpuasa, sejauh mana puasa itu membawa perubahan kepada kondisi spiritual dan kerohanian kita, tidak ada yang tahu melainkan diri kita sendiri dan Allah Taala. Oleh karena itu puasa melatih kejujuran kita. Kalau Allah Taala berfirman puasa itu untuk Aku, maka niat kita haruslah semata-mata untuk mencari kesenangan Allah Taala. Misalnya : Ketika berpuasa dia minum secara diam-diam, tidak ada orang lain yang tahu akan tetapi dia sudah membohongi Tuhan. Bukan orang lain yang dia bohongi akan tetapi Tuhan, karena puasa itu tidak ditujukan kepada siapapun melainkan untuk Tuhan. Jadi mencari ridha Allah artinya bukan mencari kesenangan orang tua, saudara, pimpinan, dll akan tetapi selalu memikirkan tindakan dan amalnya harus menyenangkan Tuhan. Dalam hal-hal lain pun hendaknya demikian. Misalkan tentang menaati Amir (pimpinan), dia taat kepada Amir bukan untuk menyenangkan hati Amir tersebut akan tetapi hanya untuk mengharap kesenangan Allah Taala. Kalau kita bekerja dalam pengkhidmatan terhadap agama, hanya mendasarkan semuanya untuk mencari ridha Allah Taala semata, maka Insya Allah sesuai dengan janji-Nya, wa lâ khoufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn (tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati).

Ada satu kisah yang indah telah dicontohkan oleh seorang Rabia’ah Al-Adawiyyah. Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah berdekatan dengan kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Hidupnya sudah dipersembahkan untuk mengkhidmati Tuhan. Semua yang dilakukannya hanya untuk mengharap ridha Allah semata.

Suatu kali karena terkenal dengan kemakbulan doa-doanya banyak orang yang datang untuk memohon doa kepadanya. Sampai pada suatu waktu ada seorang yang sakit datang minta didoakan supaya segera sembuh dari sakitnya. Dan beberapa waktu kemudian dia datang kembali dalam keadaan telah sembuh dari sakitnya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia bertanya : Wahai Rabiah, engkau adalah seorang hamba yang dekat degan Tuhan, sehingga doa-doamu selalu diijabah oleh-Nya. Akan tetapi saya heran, mengapa engkau sendiri dalam keadaan sakit-sakitan yang memprihatinkan sedangkan engkau dan doa-doamu telah banyak membawa kesembuhan bagi orang lain. Apakah doamu untuk dirimu sendiri tidak didengar oleh Tuhan? Lalu Rabiah menjawab : Aku tidak pernah berdoa kepada Tuhan untuk menyembuhkan sakitku, karena aku takut kondisi seperti inilah yang memang Tuhan kehendaki dariku. Kalau aku berdoa untuk kesembuhanku berarti aku tidak mencari keridhoan Tuhan. Biarlah aku dalam kondisi seperti ini, asalkan Tuhan ridho terhadapku .Demikianlah sebuah teladan bagi kita tentang mencari ridha Allah Taala karena masalah ini adalah masalah yang sangat latif (halus). Bagi seorang Rabiah Al-Adawiyyah, berdoa untuk memohon kesembuhan untuk dirinyapun takut dipanjatkannya, karena takut bertentangan dengan keridhaan Tuhan. Maksudnya kalau Tuhan akan memberikan kesembuhan, biarlah Dia berikan kesembuhan kapan pun Dia mau.

Sehingga Rabiah pun biasa mendoa kepada Tuhannya : “Ya Allah jika aku menyembah-Mu karena takut terhadap api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu kerana kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
Dan doanya lagi : “Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku merasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikan perjumpaan? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, niscaya aku akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu.”

Muhammad Idris-Ramadhan 1429 H







Read More......

Jumat, 19 September 2008

Cara I'tikaf

(Mau Tahu Bagaimana Caranya I'tikaf? Simak Artikel Ini)

Petunjuk Pelaksanaan I’tikaf

Sesuai dengan sunnah YM Rasulullah saw, I’tikaf biasanya beliau lakukan di dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan bunyi matan beberapa riwayat hadits berikut ini :

1. 'Aisyah Radliyallaahu 'anha berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila memasuki sepuluh hari -- yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan-- mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. HR Bukhari-Muslim. (Kitab Hadits Bulughul Maram)

2. Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri'tikaf sepeninggalnya. HR Bukhari-Muslim. (Kitab hadits Bulughul Maram)
3. Abdullah bin Umar r.a. berkata, "Rasulullah biasa melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan."(HR Bukhari)

4. Aisyah r.a. istri Nabi mengatakan bahwa Nabi saw. selalu beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau.(HR Bukhari)

Dan YM Rasulullah saw selalu melaksanakan I’tikaf di dalam masjid. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dan janganlah kamu campuri mereka itu (istri-istrimu), sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(al-Baqarah [2]:187)
Para mu’takif yang melaksanakan I’tikaf di masjid dapat menggunakan tenda-tenda dari kain untuk dijadikan ruang pelaksanaan I’tikafnya sehingga tidak saling mengganggu peserta I’tikaf yang lainnya. Hal ini juga sesuai dengan bunyi terjemah matan hadits berikut ini :
Aisyah r.a. berkata, Nabi beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari bulan Ramadhan. Maka, saya buatkan untuk beliau sebuah tenda. Setelah shalat subuh, beliau masuk ke dalam tenda itu. (HR Bukhari)
Sehingga sesuai dengan arti dari I’tikaf yaitu berhenti atau berdiam diri, maka para mu’takif yang sedang melaksanakan I’tikaf hendaknya menghentikan diri dari semua aktifitas duniawi selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan memperbanyak tadarus serta tadabbur al-Quran, berdzikir Ilahi, sholat-sholat sunnah maupun nafal, dan kegiatan ibadah lainnya yang bertujuan untuk menambah kedekatan hubungan dengan Allah Ta’ala. Hal ini sesuai dengan hadits berikut ini :
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Adalah Rasulullah saw., beliau bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, tidak seperti pada hari lainnya. (Shahih Muslim No.2009)
Para mu’takif juga tidak diperkenankan mengerjakan hal-hal yang sia-sia selama pelaksanaan I’tikaf, misalnya : banyak bicara dan berbincang-bincang dengan peserta yang lain, bersenda gurau atupun bercanda, berbuat gaduh, dll. Sesuai dengan keterangan hadits berikut ini, maka para mu’takif harus benar-benar memanfaatkan waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan banyak melakukan muhasabah diri. Di dalam sebuah hadits diriwayatkan :
'Aisyah Radliyallaahu 'anha berkata: Disunahkan bagi orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak melawat jenazah, tidak menyentuh perempuan (istri) dan tidak juga menciumnya, tidak keluar masjid untuk suatu keperluan kecuali keperluan yang sangat mendesak, tidak boleh i'tikaf kecuali dengan puasa, dan tidak boleh i'tikaf kecuali di masjid jami'. Riwayat Abu Dawud. Menurut pendapat yang kuat hadits ini mauquf akhirnya. (Kitab Hadits Bulughul Maram)
Bahkan di dalam hadits tersebut disunahkan ketika dalam pelaksanakan I’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, melawat jenazah, dll walaupun bunyi matan hadits tersebut juga bukan artinya melarang untuk melakukan hal-hal tersebut. Hanya kalau memang tidak benar-benar bersifat darurat dan sangat mendesak maka diusahakan agar para mu’takif tetap berkonsentrasi dalam pelaksanaan I’tikafnya di masjid.
Hal penting lainnya yang harus dipahami oleh para peserta I’tikaf adalah, karena dalam pelaksanaan I’tikaf ini dilakukan bersama-sama dengan para mu’takif yang lain, maka masing-masing peserta harus dapat saling menjaga ketenangan dalam pelaksanaan ibadahnya. Dalam pelaksanaan ibadah pun tidak boleh sampai mengganggu peserta I’tikaf yang lain, misalnya : tilawat al-Quran dengan suara yang sangat nyaring, dll. Hal ini akan berpotensi mengganggu ketenangan dan kekhusyukan pelaksanaan ibadah dari para peserta I’tikaf yang lain.
Semoga Allah Ta’ala meridhoi dan memberkati pelaksanaan I’tikaf di bulan Ramadhan 1429 H ini dengan keberkatan dan karunia yang berlimpah. Amiin

Panitia I’tikaf Masjid Al-Hidayah-Ramadhan 1429 H





Read More......

Rabu, 17 September 2008

Tips Sukses

Bagaimana Memilih Usaha Yang Tepat 


Setelah saya cari-cari di internet mengenai kiat-kiat usaha dan beberapa buku mengenai wiraswasta atau wirausaha, dapat disimpulkan bahwa untuk "memilih usaha apa yang tepat" bukanlah awal yang penting, tapi "keberhasilan memulai usaha itu" adalah suatu hal yang paling penting untuk kita cermati lebih dalam.

Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa memulai suatu usaha, tentunya suatu usaha yang baik dan sesuai dengan kemampuan dan kesenangan pribadi !. Nah agar ada keberhasilan dalam memulai suatu usaha, tentunya harus ada faktor yang mempengaruhinya. Yaitu,pertama adalah faktor peluang dan yang kedua adalah faktor kesiapan dan kesigapan diri untuk dapat segera memanfaatkan peluang tersebut. Demikian jawaban Ir. Achsan Permas, M.B.A. salah satu pengajar Lembaga PPM.

Kedua faktor tersebut saling berkait atau sulit dipisahkan. Jika kita hanya memiliki salah satu faktor saja, maka kita akan sulit untuk segera memulai usaha. Misalnya ada peluang usaha, namun kita tidak mempunyai kesiapan modal, atau keahlian yang kita miliki tidak cocok dengan peluang tersebut. Maka jelas kita tidak bisa segera memanfaatkan peluang tersebut. Atau kita mempunyai kesiapan modal dan keahlian, namun peluang usaha yang ditunggu-tunggu tidak pernah kunjung datang.

Lalu apa hubungannya antara kedua faktor tersebut diatas dengan pertanyaan sebelumnya mengenai "Bagaimana memilih usaha yang tepat ?"

Seperti telah disimpulkan diatas bahwa keberhasilan usaha bukanlah ditentukan oleh pilihan, namun memulai usaha itulah yang lebih penting. Nah dengan menerapkan kedua faktor itu marilah kita memulai usaha.

PERTAMA, MENILAI KEMAMPUAN PRIBADI

Pikirkan tentang bakat kepribadian yang diperlukan untuk mencapai sukses dalam berbisnis. Apa yang telah kita miliki, apa keahlian kita, apa motivasi kita, kesigapan apa yang ada pada diri kita.

Anda pernah baca artikel mengenai pembuat TAS yang berhasil dari Tajur, Bogor. Sebelumnya dia adalah pengrajin sepatu dan sempat dikirim kePerancis oleh perusahaanya tempat bekerja. Namun ternyata diPerancis dia lebih tertarik dengan bermacam-macam tas yang ada dietalase toko-toko yang ada di Perancis. Setelah pulang dari Perancis. Bukannya membuat sepatu diperusahaan tempatnya bekerja, malah dengan ketekatannya, beliau keluar dari perusahaan dan membuat kerajinan Tas sendiri, seperti apa yang ia idam-idamkan. Setelah dipasarkan kesana kemari, sekarang showroomnya di Bogor setiap Sabtu dan Minggu berjubel peminatnya.

Dengan berbekal keahlian, motivasi, kemauan maka itu merupakan modal untuk memulai mengembangkan usaha. Jadi kalau ingin memilih usaha yang tepat, maka mulailah usaha dari apa yang anda miliki.

KEDUA, BAGAIMANA MENCARI PELUANG USAHA

Peluang usaha sangat banyak disekitar kita. Mulai dari usaha bermodal dengkul sampai usaha yang memerlukan modal tidak sedikit. Dari usaha jual obat dipinggir jalan sampai jual obat di mall dan apotek. Jadi janganlah Anda berpikir saya belum berusaha karena belum ada peluang. Padahal pada umumnya dikarenakan Anda tidak siap atau tidak sigap.

Untuk mudahnya, marilah kita lihat disekitar keliling kita sumber-sumber peluang usaha untuk kita kenali, pelajari dan kita kembangkan lebih lanjut, sehingga kita mempunyai beberapa pilihan usaha yang kita minati dan sesuai kemampuan kita.

Beberapa sumber peluang usaha misalnya :

Buku daftar telepon. Biasa juga disebut buku kuning yang memuat daftar produk atau jasa yang berhubungan dengan usaha kecil. Misalnya Anda berminat dengan perkebunan, maka Anda akan mendapatkan semua klasifikasi yang berhubungan dengan berkebun seperti jenis bunga, arsitek penataan kebun, obat-obatan untuk tanaman dll. Buat daftar mana saja yang Anda sukai.

Koran & Majalah. Anda dapat berlangganan koran atau tabloid yang sering menginformasikan berbagai ide dan peluang usaha, dan juga iklan-iklan yang menawarkan kerja sama dll. Jika Anda membacanya, pikirkanlah peluang bisnis yang ada atau kecenderungan usaha yang mungkin dapat Anda kembangkan lagi.

Hobi & bepergian. Kapan saja Anda bepergian lihat sekeliling dimana Anda berada. Toko-toko pakaian, makanan, bengkel, kerajinan, mebel dan lain sebagainya. Jika Anda menemui sesuatu yang menarik, cobalah Anda tanya dan berdiskusi dengan pemilik usaha tersebut, darimana produknya disuplai, apa usahanya cukup maju, apakah barang yang Anda lihat banyak peminat atau tidak dll. Tehnik bertanyanya terserah Anda, apa pura-pura membeli, menawar, memuji keindahannya, komentar kok pelanggannya banyak dlsb.

Kunjungi Toko Buku. Toko buku selain tempat untuk membeli berbagai buku bacaan atau keperluan sekolah. Namun banyak juga toko buku yang menjual buku berbagai ide usaha. Coba anda lihat-lihat atau minta catalog buku. Mungkin saja ada buku yang memberi ide usaha untuk Anda lakukan. Untuk mudahnya agar tidak semua buku Anda borong, sebaiknya catat saja dahulu judul-judul yang memberikan ide usaha kepada Anda. jika Anda sudah menyeleksi dan mempunyai beberapa pilihan yang paling mendekati keinginan Anda, barulah dibeli.

Teman atau kenalan. Bersilahturahmi kepada teman-teman adalah pekerjaan yang baik sekali dan dianjurkan oleh agama islam. Beritahu mereka tentang minat Anda mencari produk atau usaha tertentu. Tanyakan pada mereka apa yang mereka lakukan. Kalau mereka bergelut dalam dunia bisnis tanyakan bagaimana kondisi terakhir dunia perbisnisan, tanyakan bagaimana mereka memulai bisnis, bagaimana rencana masa depan , bagaimana mereka menilai kebutuhan pasar. Jika usaha yang Anda minati ada diantara mereka, cobalah dekati mereka lebih dalam, misalnya ajak mereka makan siang atau malam, bertamu kerumahnya, berkunjung ketempat usahanya dll.

Masih banyak sumber-sumber informasi peluang yang bisa Anda jajaki, misalnya perpustakaan, distributor, pedagang grosir, pasar, mall, pelanggan dari suatu perusahaan, berbagai ekspor/import, jasa informasi produk lisensi, internet, pameran, bazar, seminar, supermarket dll.

Ingat, agar usaha mencari peluang usaha ini tidak sia-sia, maka setiap ada jenis usaha, jasa atau produk yang Anda temui dan minati, semua itu harus dicatat. Kemudian suatu saat kita lakukan beberapa ketentuan atau kriteria untuk segera mengambil keputusan yang paling tepat atau mendekati pilihan Anda. Tanpa Anda melakukan ini, maka Anda akan terjebak terus untuk mencari peluang usaha. Sehingga jika bertemu teman lama, Anda masih berstatus PENGANGGURAN. Dan kalau Anda ditanya Anda selalu berkata "Saya belum mendapat PELUANG", belum ada usaha yang COCOK dan berbagai alasan lainnya..


KETIGA, KRITERIA MEMILIH PELUANG USAHA

Jika Anda sudah mempunyai daftar beberapa peluang usaha yang sudah Anda survey dengan baik. Maka sudah waktunyalah Anda untuk menentukan pilihan usaha apa yang akan Anda lakukan.

Sebelum Anda menentukan peluang usaha apa, maka cobalah beberapa kriteria analisis ini disimak dahulu untuk memudahkan peluang usaha mana yang akan Anda pilih :

Analisa Modal. Berapa besar modal yang diperlukan untuk bisnis tersebut. Berapa modal yang Anda miliki. Kalau masih kurang, adakah modal lain.

Analisa Penghasilan. Berapa besar keuntungan yang bisa diperoleh dari usaha tersebut. Berapa besar kebutuhan hidup Anda. Kalau masih kurang, masih bisakah cari tambahan lain.

Analisa Sektor Usaha. Apakah sektor ini merupakan salah satu keinginan Anda. Beri urutan, dimana usaha yang paling Anda minati diurutan atas.

Analisa Jam Kerja. Apakah usaha ini akan menyita habis waktu Anda dan keluarga Anda. Atau waktunya normal (jam 08 s/d jam 17), atau waktunya bisa Anda atur sendiri. Tujuh hari atau lima hari seminggu atau terserah Anda untuk mengaturnya berapa hari perminggu.

Analisa prospek. Pelajari keadaan usaha sejenis tersebut saat ini dan masa depan. Dari sekian daftar usaha, mana yang paling memberikan prospek baik saat ini maupun masa depan.

Dan masih banyak lagi ktritea lain yang Anda sendiri bisa tentukan. Setelah itu buatlah daftar peluang usaha apa saja yang Anda temukan sesuai dengan kemampuan diri Anda.

KEEMPAT. PILIHAN TERAKHIR.

Setelah Anda mempunyai urutan atau score/nilai daftar beberapa peluang usaha. Kemudian pilihlah 3 (tiga) peluang mana yang paling sesuai memenuhi kondisi, minat, kemampuan dan kesigapan Anda.

Sebelum penentuan pemilihan terakhir, cobalah periksa kembali kriteria dari setiap pilihan. Tanyakan kepada beberapa teman, mintalah pendapatnya dari ketiga usaha tersebut mana yang paling cocok buat Anda dan beserta alasan. Ingat, apapun pendapat teman Anda, yang menjadi pertimbangan utama Anda adalah tetap KEMAMPUAN dan KEINGINAN ANDA.


Nah, mudah-mudahan dengan beberapa metode diatas Anda semua sudah bisa segera memulai usaha. Sekarang terserah Anda.

Seperti apa yang ditulis oleh Ir. Achsan Permas, M.B.A. Lakukanlah pilihan usaha Anda. Sambil berjalan, usahankan untuk melakukan pengembangan usaha tersebut, terus kembangkan keahlian dan kesigapan Anda, sehingga Anda akan selalu siap dan sigap dalam menangkap peluang yang ada, yang kadang-kadang tidak dapat diduga datangnya. Contohnya krisis moneter saat ini yang merupakan peluang bagi para pengeksport hasil bumi nusantara ini.

http://wirausaha.itgo.com/milih_usaha.htm


Read More......

Selasa, 16 September 2008

Berita Nusantara

FPI  demo Kedubes Arab Saudi karena selama ini  Jama'ah Ahmadiyah selalu naik haji ke Mekkah. Ini beritanya :

Selasa, 16/09/2008 10:58 WIB
Demo Kedubes Arab Saudi, FPI Minta Ahmadiyah Tak Dihajikan
Novia Chandra Dewi - detikNews

Jakarta - Iring-iringan 15 motor dan 1 mobil pick up penuh stereo set rombongan Front Pembela Islam (FPI) tiba di Kedutaan Besar (Kedubes) Arab Saudi. Massa FPI meminta jemaat Ahmadiyah tak diizinkan beribadah haji.

Sebanyak 50 anggota FPI datang dari markasnya di Petamburan, Jakarta Barat ke Kedubes Arab Saudi, Jalan MT Haryono, Jakarta, Selasa (16/9/2008) pukul 10.00 WIB.

"Kita memprotes orang-orang Ahmadiyah untuk berangkat haji. Karena kuota kaum muslim diganti dengan kaum Ahmadiyah," ujar Ustad H Jafar Sidik dalam orasinya.

Mereka juga meminta pemerintah Indonesia dan Arab Saudi mencekal jemaat Ahmadiyah.

"Kami meminta mencekal anggota Ahmadiyah yang sudah mendaftarkan haji dan tidak memberikan visa buat mereka. Supaya mereka tidak menginjak kota Mekah dan Madinah," teriak Jafar yang langsung disambut teriakan takbir para anggotanya.

Tak hanya itu, mereka juga membagi-bagikan selebaran yang berisi tuntutannya. Dalam selebaran itu, mereka juga memprotes berangkatnya anggota Komisi VIII Theodorus JK, yang nonmuslim, memantau pelaksanaan haji di Arab Saudi pada tahun 2005.

Para anggota FPI yang berdiri di pagar Kedubes Arab Saudi dikawal 50 personel kepolisian dan petugas keamanan dalam dari Kedubes. Demo ini menutup 1 lajur dari 3 lajur ke arah Kuningan, sehingga lalu lintas tersendat.(nwk/ asy)
http://www.detiknew s.com/read/ 2008/09/16/ 105841/1006952/ 10/demo-kedubes- arab-saudi, -fpi-minta- ahmadiyah- tak-dihajikan


Read More......

Download

Download Lagu-lagu Indonesia Terbaru
Dapatkan lagu-lagu Indonesia terbaru dengan cara mudah. Download dengan meng-klik judul lagu dibawah ini :



Read More......

Senin, 15 September 2008

Islam Toleran

Toleran pada Ahmadiyah  

Oleh: Zuhairi Misrawi

Di saat sejumlah kelompok umat Islam di Jawa Barat mendesak pemerintah untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sejumlah cendekiawan, aktivis, dan pakar hukum meminta pemerintah agar membela hak warga negara JAI (14/4). Sebab sejak 1925, JAI lahir sebagai bagian dari proses pembentukan bangsa ini. Mereka mempunyai program kemanusiaan, mengedepankan kedamaian dan yang terpenting tidak pernah melakukan tindakan kriminal yang merugikan publik.

Dua kenyataan tersebut membuktikan dua fenomena yang sedang berkontestasi, yaitu “intoleransi” versus “toleransi”. Sebagian kelompok di luar JAI, khususnya sebagian ulama di Jawa Barat masih bersikukuh mengeklusi mereka dari komunitas Muslim sebagai penjabaran atas fatwa sesat yang diterbitkan MUI. Sedangkan sebagian kelompok yang lain membela hak-hak warga negara JAI di Tanah Air.

Sedangkan JAI berusaha untuk membuka diri dengan cara mengenali sosio-kultur masyarakat Muslim di Tanah Air. Kunjungan PB JAI ke pesarean pendiri NU, KH. Cholil Bangkalan dan KH. Hasyim Asy’ari beberapa waktu lalu merupakan salah satu tahapan menuju toleransi dua arah, yaitu toleransi dialogis.

Kunjungan tersebut cukup beralasan, karena dari sekian Ormas yang relatif bersikap toleran adalah kalangan NU. Setidaknya, sejauh ini tidak mengeluarkan pernyataan publik sekeras beberapa Ormas lainnya. NU berusaha melihat Ahmadiyah sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sebagiamana diungkapkan oleh KH. Masdar F. Mas’udi dalam pelbagai kesempatan, bahwa yang harus dikedepankan dalam melihat Ahmadiyah adalah hak-hak mereka sebagai warga negara. Sedangkan perbedaan cara pandang keagamaan, semuanya diserahkan kepada Allah SWT, karena Dialah yang mempunyai hak prerogratif untuk menentukan sesat dan sebaliknya (QS. al-Qalam [68]: 7). Meskipun NU berbeda pandangan dengan Ahmadiyah dalam beberapa hal, maka tidak ada alasan untuk menyesatkan mereka, apalagi menyerangnya. Demikianlah, kira-kira toleransi yang dilakukan oleh sejumlah kalangan NU.

Pasca-kunjungan ke kantong-kantong NU, khususnya pesarean para pendiri NU di atas, JAI mulai menempuh dua jalur toleransi yang penting bagi bangsa ini: Pertama, perlunya dialog-dialog kultural yang bersifat intensif dengan masyarakat Muslim lainnya. Hal tersebut diharapkan dapat mengikis kesan eksklusif yang selama ini dikalungkan kepada JAI.

Kedua, JAI dipahami oleh publik merupakan salah satu komunitas Muslim yang menghargai lokalitas dan kebudayaan, yang merupakan khazanah bangsa ini. Hal ini penting, bahwa perjalanan sejarah umat Muslim di Tanah Air merupakan perjalanan dari proses kontinyuasi yang amat panjang. Karena itu, menghargai lokalitas berarti juga menghargai sejarah bangsa ini, khususnya sejarah yang telah diletakkan oleh para ulama, pendiri bangsa ini.



Menimbang Kembali Fatwa

Secara pribadi, penulis sangat kesulitan memahami gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah kelompok, sebab tidak ada alasan untuk bersikap intoleran terhadap JAI. Sebenarnya tidak hanya mereka, MUI juga sebenarnya harus mencabut fatwa sesat yang sudah dijatuhkan pada JAI.

Pertama, JAI sudah mengeluarkan 12 butir penjelasan yang mempertegas tentang posisi teologis mereka. Di antaranya, JAI menegaskan bahwa pihaknya mengucapkan syahadat sebagaimana umat Muslim lainnya; meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai khatam al-anbiya’ (Nabi Penutup); mereka meyakini al-Quran sebagai wahyu; Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam; Hadrat Mirza Ghulam Ahmad adalah guru dan mursyid (bukan nabi); buku Tadzkirah bukanlah kitab suci, melainkan catatan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad.

Beberapa poin di atas sebenarnya membuktikan perihal keberislaman warga JAI. Keyakinan mereka secara eksplisit tidak berbeda dengan umat Islam pada umumnya, khususnya kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Perbedaan bisa dikatakan hanya bersifat sekunder-partikular (furu’iyyah) dan bukan primer-fundamental (ushuliyyah).

Dalam konteks fatwa sesat MUI dan pernyataan sejumlah tokoh, agar Ahmadiyah membuat agama baru, dengan sendirinya sudah terjawab secara tuntas dengan 12 butir di atas. Konsekuensinya, MUI sebenarnya secara moral berkewajiban untuk mencabut fatwa sesat, karena sesuai kacamata hukum Islam, bahwa ‘illat (kausa) dari vonis sesat atas Ahmadiyah sudah tidak ada lagi. Kausa yang selama ini dijadikan alasan untuk mengeluarkan fatwa sesat sudah dijawab dengan terang-benderang, bahwa akidah Ahmadiyah sebagaimana Akidah Ahlussunnah wal Jamaah pada umumnya. Mereka juga berpegang teguh ada al-Quran dan Hadis Nabi.

Dalam kaidah fikih disebutkan, sebuah hukum bisa berlaku dan tidak berlaku sesuai dengan kausanya (‘illat), yang biasa dikenal dengan al-hukmu yaduru ma’a al-‘illat wujudan wa ‘adaman. Di samping itu, menurut Prof. Dr. Khaled Aboue el-Fadl (2003) dalam Speaking in God’s Name, dalam memutuskan sebuah hukum, harus didasarkan pada prinsip kejujuran, kecerdasan, keakuratan, pengendalian diri/tidak emosional dan kemenyeluruhan.

Konsekuensi dari beberapa dasar hukum tersebut, maka tidak ada alasan untuk tidak mencabut fatwa sesat atas Ahmadiyah. Sebaliknya, bila hal ini tidak dilakukan, maka akan menjadi preseden buruk dalam penentuan sebuah fatwa. Fatwa tidak dikeluarkan berdasar kausa dan objek masalah, melainkan karena subjektivitas kepentingan tertentu. Fatwa tidak berdasarkan pemahaman yang otoritatif terhadap agama, melainkan berdasarakan otoritas yang otoriter.

Kekhawatiran seperti ini pernah disampaikan oleh Abid al-Jabiry, pemikir Muslim asal Maroko (2007) dalam tulisannya, al-fatwa wa al-jahl al-murakkab (Fatwa dan Kebodohan yang Sempurna), karena menurut dia belakangan ini kerapkali muncul fatwa keagamaan yang tidak berdasarkan otoritas keilmuan (ishdar al-fatwa min ghayr ‘ilmin). Fatwa kehilangan auranya sebagai menekanisme penentuan hukum yang menjunjung tinggi kedalaman ilmu menjadi mekanisme yang menjunjung tinggi kedangkalan dalam beragama.

Tentu saja, umat Muslim mempunyai tanggungjawab yang amat besar agar agama dibangun di atas ilmu dan amal shaleh. Tanpa keduanya, peradaban Islam akan berada di ambang kehancuran. Oleh karena itu, berkaitan dengan sejumlah kekhawatiran dan kritik di atas, MUI mestinya menjadikan fatwa sebagai momentum untuk mewujudkan ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan islami), bukan ‘adawah madzhabiyyah (pertentangan antar aliran/kelompok). Toleransi yang dibangun di atas kehendak untuk menghargai, menerima dan menghormati pendapat orang lain sejatinya dapat dijadikan landasan setiap fatwa.

Kedua, JAI dalam menghadapi fatwa dan penyerangan sejumlah pihak bersifat kooperatif. Dalam konteks kebangsaan, mereka senantiasa mengikuti proses hukum yang berlaku, termasuk tatkala kantor dan kantong-kantong mereka diserang oleh beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebagai korban, pihak yang diserang dan dirugikan, mereka memilih jalur hukum sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang menimpa mereka. Padahal mereka dirugikan, baik secara material maupun immaterial.

Hal ini merupakan teladan dalam konteks membangun demokrasi di Tanah Air. Di tengah proses penegakan hukum yang terseok-seok, dan kuatnya tarikan kekuasaan dalam ranah hukum, maka langkah yang diambil JAI merupakan cara-cara yang sesuai dengan nafas demokratisasi dan reformasi.

Ketiga, JAI—sejak awal kedatangannya di Tanah Air—senantiasa mengampanyekan dan mempraktekkan pesan anti-kekerasan, sebagaimana prinsip yang mereka pedomani, love for all hatred for none (cinta untuk semua dan tanpa ancaman).

Bukan hanya itu, mereka yang sejauh ini diusir dan diserang, justru tidak melakukan balas dendam serupa. Mereka bukan tidak mampu, tapi prinsip anti-kekerasan menjadi salah satu keyakinan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana Islam sendiri berarti kedamaian dan ketundukan kepada Tuhan. Rasulullah SAW bersabda, Islam yang paling baik adalah menebarkan perdamaian dan memberi makan, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.

Ketiga hal di atas, merupakan beberapa alasan penting kenapa kita harus toleran terhadap JAI. Semua pihak harus berbesar hati untuk merangkul, bukan memukul, apalagi sesama warga Muslim. Lebih-lebih sebagai sesama warga negara, yang memedomani Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara.

Di sini, saatnya kita mereaktualisasikan pesan para pendiri NU, bahwa toleransi merupakan sesuatu yang esensial dalam agama. Toleransi merupakan pilar dalam beragama (ukhuwwah islamiyyah), pilar dalam berbangsa (ukhuwwah wathaniyyah) dan pilar dalam berinteraksi sesama manusia (ukhuwwah basyariyyah).


Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society (MMS)
http://www.moderatemuslim.net/mms/index.php?option=com_content&task=view&id=17&Itemid=1



Read More......

Islam Transnasional

PBNU: MUI Telah ‘Dimasuki’ Kelompok Islam Transnasional

Sabtu, 17 Mei 2008 09:30

Jakarta, NU Online


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah ‘dimasuki’ orang-orang dari kelompok Islam berhaluan transnasional (gerakan politik antarnegara). Hal itu terjadi saat era reformasi dan ideologi dari luar dibiarkan bebas masuk ke Indonesia.


Sejak saat itulah, kata Hasyim, bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, mulai mengenal gerakan Islam liberal dan Islam garis keras. “Mulai itulah, kita mengenal, misal, Jaringan Islam Liberal, Al-Qaeda, Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan sebagainya,” terangnya.

Hasyim mengungkapkan hal itu saat menerima 40 pastur se-Indonesia yang tergabung dalam Unio Indonesia di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (16/5) kemarin.

Presiden World Conference on Religions for Peace itu menjelaskan, masuknya gerakan Islam transnasional itu jelas sangat berpengaruh pada MUI. Pasalnya, ia mengakui, akhir-akhir ini lembaga independen tersebut kerap mengeluarkan keputusan terkait masalah agama yang kontroversial.

Akibat masuknya kelompok Islam transnasional itu pula, ungkapnya, MUI menjadi seakan-akan tak memahami keberagaman yang ada di negeri ini. Demikian pula seolah tak mengerti bahwa Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibangun atas dasar keberagaman itu.

“MUI sekarang menjadi ‘pelangi’ (baca: terdiri dari beragam kelompok Islam). MUI tidak seperti dulu yang hanya dihuni NU dan Muhammadiyah. Kalau dulu, MUI tidak ada masalah dalam menyelesaikan masalah bangsa, terutama yang berkaitan dengan agama,” jelas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu.

Menurutnya Hasyim, kelompok Islam transnasional itu tidak akan menjadi masalah jika mereka tak mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan gerakan politik yang berkembang di negara asal. “Masalahnya, mereka juga bergerak sebagai gerakan politik, tidak murni mendakwahkan Islam sebagai ajaran,” pungkasnya. (rif)
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12680
Read More......

Opini Gus Dur

Peringatan Harlah NU ke-82

Islam Ngotot Muncul dari Kota


Jakarta, wahidinstitute.org
Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) didaulat menjadi narasumber pada peringatan
Harlah NU ke-82 bertema Sufi dan Toleransi di Indonesia, yang diselenggarakan the WAHID Institute di Kantor the WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Senin (28/01/2008).

Pada acara yang dipandu Direktur Eksekutif the WAHID Institute Ahmad Suaedy ini, tampak hadir mantan juru bicara Gus Dur Adhie M Massardi, penyanyi Franky Sahilatua, Sekjen DPP PKB Yenny Wahid, anggota FKB Badriyah Fayumi, dan aktivis HAM MM Billah. Tampak juga aktivis dari berbagai agama dan lembaga sosial.

Dalam orasinya, Gus Dur mengingatkan, Islam mengajarkan toleransi dan memberi penghargaan yang tinggi kepada umat agama lain. Ini, antara lain, didasarkan pada Qs. al-Kafirun: 6: lakum dinukum waliya din/bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.

“Ini kata Tuhan, bukan siapa-siapa,” tegasnya.

Menurut Gus Dur, keberagaman agama-agama itu telah ada sejak dahulu kala, yang karenanya tidak seharusnya diseragamkan. Yang terpenting untuk menyikapinya, imbuh Gus Dur, adalah seperti yang diajarkan Empu Tantular 8 abad silam pada masa awal Kerajaan Majapahit, yaitu bhinneka tunggal ika/berbeda-beda tetap satu jua.

“Ini yang harus kita pegangi. Jangan mencari perbedaannya, tapi carilah persamaannya,” pesannya.

Karena itu, menurut Gus Dur, apa yang dilakukan kelompok Islam keras dengan menuntut penyeragaman, itu tidak bisa dibenarkan. “Saya rasa, saya sependapat bahwa semuanya ini terjadi karena mereka nggak paham ajaran agama,” tuturnya.

Gus Dur lantas mengaitkan ketidakpahaman pada ajaran agama ini dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1986, yang mengharamkan kaum muslim mengucapkan selamat natal pada orang Kristen. Hingga kini, Gus Dur mengaku tidak mengerti apa landasan MUI mengeluarkan keputusan demikian.

“MUI bilang, orang Kristen percaya Nabi Isa itu Tuhan. Itu kan urusan mereka. Masak kita ngurusin itu. Simpel to?,” kata Gus Dur. “al-Qur’an sendiri kan bilang salamun ‘alaihi yauma wulid (mudah-mudahan kedamaian atas Jesus pada hari kelahirannya). Wong al-Qur’annya saja membolehkan, kok manusianya melarang,” imbuhnya.

Gus Dur juga mengritik kelompok Islam tertentu yang begitu mudahnya mencap kafir kelompok Nasrani dan Yahudi. Jika al-Qur’an menyebut kata kafir, kata Gus Dur, itu tidak diarahkan pada Nasrani maupun Yahudi, karena mereka memiliki julukan khusus ahlu al-kitab. Karenanya, yang dikatakan kafir itu tak lain musyrik Makkah, yang menyekutukan Tuhan. “Baca gitu aja nggak bisa, ya repot,” katanya.

Pembicara lain, budayawan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan, Islam yang ngotot atau Islam pethenthengan, itu muncul dari kota, bukan dari desa. Karena lumrahnya, orang-orang desalah yang masih setia merawat Islam yang toleran, tengah-tengah dan yang tidak ngotot. “Ini yang bikin saya bangga dengan desa. Ini menurut pengamatan saya yang agak lama. Mungkin saya salah,” katanya tawadhu’.

Ia juga menyatakan, buku-buku karya Abu al-A’la Maududi, Sayyid Qutub, Hasan al-Banna dan sebagainya, kebanyakan diterjemahkan orang kota. “Saya ndak melihat dari kalangan ndeso atau pesantren yang menerjemahkan buku-buku ini,” ujarnya.

Dan memang, diakui Gus Mus, kini semangat keberagamaan yang berlebihan justru muncul dari kota. Semisal Kota Jakarta, Bandung, Solo dan sebagainya. Karena demikian menggebu-gebunya dalam beragama, katanya, akhirnya timbul Islam yang ngotot atau pethenthengan itu. “Kalau nggak begini, nggak sesuai mereka, pokoknya jahannam,” katanya.

Gus Mus menyayangkan semangat orang kota ini, karena acapkali kengototan itu tak dibarengi dengan ketekunan belajar agama. Akhirnya, imbuhnya, terjadi ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dengan pemahamannya terhadap ajaran agama. “Repotnya, lalu mereka merasa seolah-olah mendapat mandat dari Gusti Allah untuk mengatur orang di dunia ini,” kritiknya.

Mertua mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar-Abdalla ini juga mengritik perilaku anarkis kelompok Islam tertentu atas kelompok lain yang berbeda, dengan alasan supaya mereka dicintai Allah SWT. Mereka ini, kata Gus Mus, sesungguhnya belum mengenal Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kasih dan Sayang atas hamba-hamba-Nya.

“Orang yang tidak kenal Gusti Allah tapi ingin menyenangkan-Nya, salah-salah malah mendapat marah-Nya. Jadi tidak logis ada orang mau menyenangkan Allah SWT, tapi tidak mengenal-Nya,” tegas Gus Mus.

Inilah sejatinya, kata Gus Mus, kelompok Islam yang ngaji agamanya tidak tutug alias tidak tuntas. Mereka baru belajar bab al-ghadhab (pasal marah), lantas berhenti mengaji. Dan mereka mengira ajaran Islam hanya sependek itu. Efeknya, ke mana-mana bawaan mereka marah melulu. Padahal, masih ada bab selanjutnya tentang tawadhu’, sabar, dan seterusnya. Mereka inilah yang menjadi masalah, karena siapapun yang berbeda pasti akan disalahkan dan disesatkan.

“Dan sikap pethenthengan ini yang menjadi awal tidak adanya toleransi. Karena pethenthengan juga, kadang orang yang beragama melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya secara tidak sadar. Tapi kalau dasarnya cinta, seperti kaum sufi, itu nggak ada pethenthengan,” ujarnya.

Untuk itu, Gus Mus berpesan, hendaknya kaum muslim belajar terus tanpa henti. Dan berfikirlah segila mungkin, toh ayat al-Qur’an yang menyuruh berfikir itu sama banyaknya dengan ayat al-Qur’an yang menyuruh untuk berzikir. “Jadi, jangan pasang plang dulu ‘saya wakil Pengeran’. Tapi pelajari dulu yang dalam. Kalau tidak, alih-alih dicintai Allah SWT, tapi malah dibenci-Nya,” katanya mengingatkan.

“Jika dimintai pendapat oleh Bakorpakem soal Ahmadiyah, apa yang akan Gus Mus sampaikan?” tanya aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novriantoni Kahar.

Dengan kesantaian khas kiai pesantren, Gus Mus mengatakan dirinya tidak akan ngomong apa-apa soal Ahmadiyah, karena Bakorpakem belum memintai pendapatnya. “Nanti saja kalau sudah ditanya Bakorpakem,” katanya disambut tawa hadirin.

Penulis buku Membuka Pintu Langit (Kompas: 2007) ini lantas mengritik perilaku kelompok Islam tertentu yang gemar merusak properti milik Jemaah Ahmadiyah atau memukuli jemaahnya, karena menganggap mereka sesat. Gus Mus menamsilkan, ada orang yang hendak pergi ke Jakarta lalu berhenti di Rembang Jawa Tengah. Ia lantas berjalan terus ke arah Surabaya. “Mau ke mana?” tanya Gus Mus. “Mau ke Jakarta!” jawab orang itu.

“Saya lalu bilang, mau ke Jakarta kok ke timur? Berarti kamu ini salah alias sesat. Ya, saya tempeleng saja. Apa begini caranya? Cara ini kan nggak bener dan lucu,” kata Gus Mus heran.

Ini terjadi, kata Gus Mus, tak lain karena orang belajar ajaran agamanya tidak tutug atau tuntas. “Baru sarjana muda leren (selesai), lalu merasa sudah S3,” sindirnya.[nhm

http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/672/52/

Read More......

Tips Sukses

Tips Sukses Meniti Karir

Diarsipkan di bawah: Tips Sukses — by adit @ 1:03 am

Siapapun pasti menginginkan kesuksesan dalam mencapai karir. Betapa tidak, segala usaha telah ditempuh untuk meraih cita-cita. Untuk mewujudkannya seseorang bahkan rela mengorbankan waktu, energi, dan biaya. Tetapi masalahnya mengapa seseorang dapat mudah mencapainya, sementara yang lain sulit merealisasikannya.
Menurut pengalamanku, ada beberapa kiat yang perlu diperhatikan agar apa yang menjadi cita-cita mudah diraih.


(a) Komitmen yang tak putus-putus. Apapun langkah yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita, perlu dilakukan dengan keinginan dan daya juang yang tinggi. Apabila di tengah jalan kita menghadapi godaan dan kendala, cobalah untuk bangkit kembali memulai langkah baru. Langkah-langkah tersebut harus terarah, fokus dan dapat dilaksanakan.

(b) Langkah berikut harus lebih baik. Meniti karir merupakan perjalanan panjang. Sehingga untuk merealisasikannya perlu langkah-langkah yang berkesinambungan. Langkah tersebut antara lain berbentuk inisiatif, hasil karya, penyelesaian tugas, kerjasama dan komunikasi. Nah.. apapun tindakan nyata yang kita perbuat, langkah penitian karir yang akan dilakukan harus merupakan yang lebih baik.

(c) Mulailah perbaiki segala kelemahan diri yang ada. Bangkitkan percaya diri untuk dapat dengan mudah mengungkapkan inisiatif. Perbanyaklah ilmu dan ketrampilan yang relevan dan signifikan untuk dapat menghasilkan hasil karya. Senantiasa fokus dan pintar-pintar mengelola waktu agar tugas-tugas terselesaikan sesuai jadual.

(d) Meningkatkan kompetensi apapun melalui teknologi. Dalam era komputerisasi dan digitalisasi saat ini, kita perlu menguasai teknologi internet, penggunaan software tertentu dalam proses bisnis di organisasi/perusahaan, dan teknologi yang relevan dengan kompetensi khusus yang kita miliki.

(e) Kembangkan kerjasama dan jejaring kerja yang positif. Dalam pekerjaan sehari-hari umumnya tugas-tugas perlu diselesaikan melalui kerjasama antar unit organisasi. Tidak mungkin kita bekerja sendiri, sehingga kita memerlukan bantuan teman, rekan, dan kolega di tempat kerja. Jalinlah sikap bersahabat, menghargai bantuan atau karya orang lain. Lakukan juga hubungan komunikasi yang baik dengan sesama bawahan maupun atasan. Janganlah malu-malu bertanya pada mereka dan memberikan dukungan yang diperlukan. Ucapkanlah tanda terima kasih atas bantuan dan kerjasama mereka. Perluas juga kerjasama ini diluar bidang tugas, bagian atau organisasi dimana kita berada. Yang perlu dihindari, janganlah sekali-kali kita menjelekkan atau menghina inisiatif maupun hasil karya orang lain.

(f) Tepati janji dan taat pada prosedur yang berlaku. Kepercayaan dari atasan maupun rekan dan mitra kerja akan sangat mempengaruhi keberhasilan meniti karir. Oleh karena itu lakukan semua tugas, kerjasama, dan kesepakatan secara tepat waktu dan sesuai prosedur.

(g) Gaul dan menjaga sopan santun. Menjaga penampilan diri dan tutur kata merupakan hal sepele yang sangat dituntut dalam menjalin kerjasama. Sesuaikan cara berpakaian dengan budaya organisasi yang berlaku. Jika sebagian besar karyawan berpakaian neces, kitapun mengikutinya. Kalau bos dan atasan kita umumnya memakai pakaian blue jeans, tidak ada salahnya kitapun menyesuaikan dengan mereka. Pergaulan dapat di dijalin melalui jalur hobby yang sama atau mengikuti kegiatan sosial yang ada di lingkungan kerja dan organisasi.

(h) Berdoalah pada Tuhan Yang Maha Esa. Apapun usaha yang kita lakukan perlu mendapatkan restu Tuhan YME. Jadi, janganlah bosan-bosan memohon pertolongan Tuhan untuk mengabulkan segala apa yang kita inginkan. Janganlah percaya pada tahyul, dukun maupun faktor keberuntungan!!!

Saya kira itulah syarat-syarat sukses meniti karir guna merealisasikan cita-cita yang kita inginkan. Tetapi saya percaya teman-teman pasti masih memiliki kiat-kiat tambahan lainnya untuk dapat kita dengar dan berbagi.

(copyright@aditiawan chandra)
http://businessenvironment.wordpress.com/2007/04/07/tips-sukses-meniti-karir/

Read More......

Puasa Ramadhan

Cara Rasulullah SAW Berpuasa Ramadhan
Oleh : Muhammad idris

Allah SWT di dalam al-Quran mewajibkan kepada umat Islam untuk berpuasa ketika memasuki bulan Ramadhan. Perintah ini dalam redaksi kalimatnya ditujukan kepada setiap orang yang beriman. Oleh karena itu maksud dan tujuan utama untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadhan adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.


Allah Taala berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah [2]:183)
Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Quran menjelaskan tafsir ayat ini bahwa puasa adalah perintah Tuhan yang sama universalnya dengan perintah shalat. Akan tetapi Islam memperkenalkan pemahaman yang baru tentang puasa. Sebelum Islam puasa hanyalah dimaksudkan untuk mengurangi makan, minum, dan tidur pada waktu berkabung dan berduka cita. Tetapi Islam menjadikan puasa sebagai sarana untuk meninggikan akhlak dan rohani manusia. Hal ini sesuai dengan firman-Nya la’allakum tattaqûn (supaya kamu memperoleh ketakwaan/menjauhi diri dari kejahatan). Sehingga tujuan dari puasa itu sendiri adalah untuk melatih manusia bagaimana caranya menjauhkan diri dari segala macam keburukan.

Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan : Puasa artinya menahan diri dari makan, minum dan berjima disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Maha Mulia dan Agung, karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak yang rendah. Allah menuturkan bahwa sebagaimana Dia mewajibkan puasa kepada umat Islam, Dia pun telah mewajibkan kepada orang-orang sebelumnya yang dapat dijadikan teladan. Maka hendaklah puasa itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan lebih sempurna daripada yang dilakukan oleh orang terdahulu, sebagaimana Allah berfirman, “…untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…” (al-Maa’idah [5]:48)

Oleh karena itu, Allah berfirman, “Hari orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Sebab puasa dapat menyucikan badan dan mempersempit gerak setan sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahihain , “wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu sudah mampu memikul beban keluarga, maka kawinlah, dan barangsiapa yang belum mampu maka berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya (HR Bukhari Muslim)

Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa pada bulan Ramadhan. Dari Muadz, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya dikatakan bahwa puasa ini senantiasa disyariatkan sejak zaman Nuh hingga Allah manasakh ketentuan itu dengan puasa Ramadhan. Puasa diwajibkan atas mereka dalam waktu yang lama sehingga haram baginya makan, minum dan berjima’, serta perbuatan sejenisnya. Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam. (Ibnu Katsir, jld 1/h.286-287)

Sehingga untuk dapat memenuhi tujuan dari puasa maka perlu dipahami bagaimana cara Rasulullah SAW berpuasa. Beliau SAW adalah suri teladan terbaik bagi umat Islam, karena syariat Islam diturunkan kepada beliau SAW. Dan beliau lah wujud yang paling mengerti bagaimana harus mengimplementasikan setiap perintah dari Allah SWT. Jadi beliau lah teladan praksis yang sempurna bagi seluruh umat manusia karena beliau diutus oleh Tuhan bukan hanya untuk umat Islam saja melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Di dalam banyak hadits-hadits telah disebutkan dengan jelas, bagaimana cara Rasulullah SAW berpuasa.Nasehat dan petunjuk beliau SAW dalam hal puasa ini diantaranya :
Yang pertama adalah niatkan puasa untuk mencari keridhoan Allah SWT. Hal ini terdapat di dalam hadits muttafaqun ‘alaihi yang meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap ridha Allah, maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.
Di dalam hadits ini disebutkan agar puasa yang kita lakukan dapat menghasilkan pengampunan atas dosa-dosa yang telah lalu maka syaratnya adalah meniatkan berpuasa hanya semata-mata untuk meraih ridho Tuhan saja.

Yang kedua adalah beliau SAW berpuasa Ramadhan setelah melihat hilal dan mengakhirinya setelah melihat hilal lagi. Hal ini terdapat di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Berpuasalah kalian jika telah melihat hilal dan sudahilah puasa kalian jika telah melihat hilal lagi. Jika mendung menyelimutu kalian, maka genapkanlah hitungan bulan sya’ban menjadi 30 hari. (HR Bukhari dan Muslim)

Yang ketiga adalah beliau SAW membiasakan untuk makan sahur. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Anas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Bersantap sahurlah kalian, sebab di dalam sahur itu terdapat barakah. (HR Bukhari dan Muslim) Salah satu barakahnya adalah tubuh kita menjadi fit dan bugar dalam menjalankan puasa dan kita terhindar dari lemah, lesu dan loyo ketika menghadapi puasa sehingga aktifitas yang lainnya dapat dikerjakan dengan baik.
Dan beliau SAW juga biasa mengakhirkan sahur, sebagaimana terdapat riwayat dari Anas bin Malik (dan dalam satu riwayat darinya bahwa Zaid bin Tsabit bercerita kepadanya) bahwa Nabiyullah dan Zaid bin Tsabit makan sahur bersama. Tatkala keduanya telah selesai sahur, Nabi berdiri pergi shalat, maka shalatlah beliau. Aku bertanya kepada Anas : Berapa lama antara keduanya selesai makan sahur dan mulai shalat? Anas berkata: Sekitar (membaca) lima puluh ayat.(HR Bukhari)

Yang keempat adalah beliau SAW mengupayakan untuk menyegerakan berbuka puasa. Hal ini terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mau menyegerakan berbuka. (HR Bukhari dan Muslim). Di dalam hadits yang lain Rasulullah SAW disebutkan sangat menyukai berbuka dengan makan kurma. Berkaitan dengan hal ini, terdapat riwayat dari Sulaiman Ibnu Amir Al-Dhobby bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Apabila seseorang di antara kamu berbuka, hendaknya ia berbuka dengan kurma, jika tidak mendapatkannya, hendaknya ia berbuka dengan air karena air itu suci. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Yang kelima sebagian malam beliau SAW habiskan untuk qiyamul lail (mendirikan shalat malam) di bulan suci Ramadhan. Berkenaan dengan hal ini terdapat riwayat hadits, Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau. (HR Bukhari)

Yang keenam adalah beliau SAW selalu menyibukkan diri untuk membaca al-Quran. Berkenaan dengan hal ini terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata : saat malaikat Jibril menemui beliau. Setiap kali Jibril menemui beliau pada malam Ramadhan, pasti beliau tengah mentadabburi al-Quran.(HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, di dalam bulan suci Ramadhan agar diusahakan untuk menamatkan tilawat al-Quran sehingga berkat dari tilawat al-Quran tersebut dapat menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Yang ketujuh adalah beliau SAW memperbanyak sedekah lebih dari hari-hari biasa. Ibnu ‘Abbas RA meriwayatkan, ia berkata : Rasulullah SAW adalah sosok manusia yang paling pemurah, terutama sekali pada bulan Ramadhan, saat malaikat Jibril menemui beliau. Setiap kali Jibril menemui beliau pada malam Ramadhan, pasti beliau tengah mentadabburi al-Quran. Sungguh tatkala Jibril menemiu beliau, beliau adalah sosok manusia yang paling pemurah dalam mengulurkan kebaikan, bahkan lebih pemurah daripada angina (pembawa rahmat) yang terus bertiup. (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi di dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok teladan kedermawanan bagi kita, akan tetapi di dalam bulan Ramadhan kedermawanan beliau lebih hebat lagi dari biasanya.

Yang kedelapan adalah beliau SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadhan. Hal ini sesuai dengan bunyi matan beberapa hadits berikut ini, diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, ia berkata : Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. (HR Bukhari dan Muslim)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri'tikaf sepeninggalnya. (Muttafaq Alaihi)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila hendak beri'tikaf, beliau sholat Shubuh kemudian masuk ke tempat i'tikafnya. (Muttafaq Alaihi)
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah -- beliau di dalam masjid--, lalu aku menyisir rambutnya dan jika beri'tikaf beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk suatu keperluan. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Merujuk hadits-hadits tentang i’tikaf ini, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, maka pelaksanaan i’tikaf adalah mengambil tempat di masjid dan selama i’tikaf, mu’takif (orang yang melakukan i’tikaf) harus tetap berada di masjid sampai waktu i’tikaf selesai.
Yang kesembilan adalah beliau SAW tidak pernah memaksakan untuk tetap berpuasa bagi musafir, orang yang sakit dan sedang menghadapi udzur. Hal ini sesuai dengan hadits-hadits berikut ini, dari Hamzah Ibnu Amar al-Islamy Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat berpuasa dalam perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Ia adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambil keringanan itu maka hal itu baik dan barangsiapa senang untuk berpuasa, maka ia tidak berdosa. Riwayat Muslim dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim dari hadits 'Aisyah bahwa Hamzah Ibnu Amar bertanya. Di dalam hadits yang lain terdapat pula riwayat dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata : Rasulullah dalam suatu perjalanan, beliau melihat kerumunan dan seseorang sedang dinaungi. Beliau bertanya, Apakah ini? Mereka menjawab, Seseorang yang sedang berpuasa. Maka, beliau bersabda, Tidak termasuk kebajikan, berpuasa dalam bepergian.(HR Bukhari). Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari untuk seorang miskin, dan tidak ada qodlo baginya. Hadits shahih diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda berkenaan dengan keutamaan dalam berpuasa di bulan Ramadhan, dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Allah berfirman : Semua amal shaleh anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kalinya, bahkan sampai 700 kalinya, kecuali puasa, sebab puasa adalah milik-Ku dan hanya Aku lah yang akan membalasnya, hal ini dikarenakan seseorang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Oran yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yakni kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika menghadap Rabbnya. Sungguh bau mulut orang ysang sedang berpuasa itu dalam pandangan Allah lebih harum dari minyak kesturi. Puasa adalah perisai. Jika seseorang sedang puasa, janganlah ia berbuat atau berkata yang tidak senonoh. Jika ada seseorang yang memakinya, hendaklah ia mengatakan : Maaf aku sedang puasa. (HR Bukhari-Muslim)
Bulan suci ramadhan adalah bulan yang sangat baik bagi kita berintrospeksi diri. Adanya komitmen untuk bisa menjauhkan diri dari segala macam keburukan dan kelemahan serta menggantinya dengan terus menerus mengupayakan kesucian diri dan banyak mengerjakan amal kebajikan akan dapat meningkatkan kedekatan hubungan dengan Allah SWT. Insya Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW, jalan menuju keridhoan Tuhan semakin terbuka lebar. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab
Read More......

Opini

Sabtu, 29 Maret 2008 12:01
Cirebon, NU Online

Ahmadiyah Disarankan Merapat ke Kiai


Para pengikut jema'at Ahmadiyah disarankan untuk merapat ke pondok-pondok pesantren dan melakukan komunikasi aktif dengan para kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), agar kesalahfahaman dan kekerasan berbasis agama tidak lagi terjadi.
"Semenjak lama, kiai-kiai NU dan para santrinya sudah kenal dekat dengan Ahmadiyah," kata KH Maman, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka dalam pertemuan Jaringan Masyarakat Cirebon Cinta Damai (Jamacicida) , di Hotel Bentani, Kamis (27/3) lalu, yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat di wilayah III Cirebon dan sekitarnya.

Sebelumnya, salah seorang anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang hadir dalam pertemuan itu mengeluhkan, pihaknya belakangan ini menjadi sasaran diskriminasi, bahkan tindak kekerasan sekelompok masyarakat tertentu.

"Saya bingung, aparat dalam hal ini terkesan tidak tegas pada kelompok pelaku kekerasan. Alasannya mereka kan mayoritas dan banyak. Padahal kalau bicara Indonesia, maka yang maenstream atau mayoritas Islam Indonesia adalah NU atau Muhammadiyah. Rasanya orang-orang NU dan Muhammadiyah telah lama kenal dan bergaul dengan kami", kata anggota JAI itu.

Kiai Maman menyatakan, para kiai sebenarnya tidak sepakat dengan kekerasan yang berbasis agama.

"Saya baru saja mengikuti pertemuan kiai-kiai sepuh se-Indonesia di Jakarta yang bertujuan mencegah kekerasan berbasis agama. Dari pertemuan itu saya tahu, banyak sekali sesungguhnya kiai yang tidak setuju dengan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Indonesia," katanya.

Menanggapi hal itu, Kasubsi Bidang Politik dan Inteljen dari Kajari Cirebon menyatakan pihaknya mendukung sosialisasi terkait dengan kebebasan beragama dan berkaykinan. Selama ini, menurutnya, kejaksaan dan apatur negara telibat dalam menjamin kebebasan ini dalam bentuk pencegahan tindak kekerasan atas nama agama dan juga melakukan kerjasama dengan tokoh-tokoh agama yang ada.

Ia mengakui bahwa dalam beberapa hal, aparat masih banyak kekurangan. Karena itu ia meminta kerjasama dengan seluruh peserta yang hadir untuk memberikan data-data yang valid dan akurat mengenai pelanggaran hak kebabasan beragama atau tindak kekerasan yang terjadi.

Pertemuan sehari itu diikuti oleh lebih dari 70 peserta, terdiri dari utusan berbagai kelompok pro kerukunan beragama. Dari wilayah III Cirebon hadir peserta perwakilan dari Fahmina Institute, Forum Lintas Iman Cirebon, Lakpesdam NU Cirebon, Lakpesdam NU Indramayu dan Lakpesdam NU Majalengka, juga PMII kab. Cirebon.

Dari Bandung hadir LBH Bandung, Jaringan Kerja Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (PAKBB), dan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Dari Jakarta, hadir perwakilan PP Lakpesdam NU. Hadir juga dalam pertemuan itu beberapa anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Kasubsi Bidang Politk dan Inteljen Cirebon.

Pertemuan dilanjutkan dengan diskusi yang difasilitasi oleh PP Lakpedam NU. Para peserta merumuskan beberapa hal strategis seperti pembentukan forum dan jejaring. Forum yang dikoordinatori oleh KH Maman akan melakukan sosialisasi beragama secara damai terutama di wilayah Jawa Barat. (ali)


Read More......

Opini Publik

Ahmadiyah yang Dicerca dan Dipuja
Oleh :KH Ma'mur Noor

Seorang mubaligh di Jakarta yang dalam ceramahnya sering mencerca Ahmadiyah
(gerakan Islam yang dinilai sesat dan menyesatkan), suatu kali dalam satu
diskusi - yang membahas perkembangan sains di Dunia Islam - memuji-muji
almarhum Abdus Salam (1926-1996), pemenang Nobel Fisika tahun 1979. Sang da'i
yang anti-Ahmadiyah itu mengatakan dunia Islam benar-benar tertolong dengan
kehadiran Nobelis Abdus Salam sehingga perkembangan sains Islam yang sudah
terputus selama lima abad seakan hidup lagi.

Salam menjadi penerang sains Islam dan menjadi penggugah kaum muslimin untuk
kembali meraih kejayaan di bidang sains yang pernah digengamnya pada abad ke
ke-7 sampai ke-15.

Harian Republika, yang merupakan corong masyarakat Islam di Indonesia, sering
memuja Salam sebagai saintis Islam terbesar dan sebagai ilmuwan muslim pertama
yang mendapatkan hadiah nobel paling bergengsi di bidang fisika atom di tengah
terpuruknya sains Islam dalam lima abad terakhir.

Abdus Salam kelahiran Pakistan 29 Januari 1926 itu meraih gelar doktor fisika
dalam usia 26 tahun dari universitas di Inggris, Cambridge University. Dalam
waktu hanya lima tahun melakukan penelitian tentang gaya-gaya fundamental di
alam raya, penemuan Salam ternyata mendapat penghargaan Nobel.

Penemuannya dalam usia 31 tahun dianggap prestasi yang luar biasa. Salam dalam
penelitiannya berhasil menemukan fakta sesungguhnya semua gaya yang ada di
jagad raya - yaitu gaya gravitasi, elektromagnet, nuklir kuat, dan gaya nuklir
lemah hakikatnya merupakan satu kesatuan.

Keseimbangan Ciptaan Alah
Seperti ditulis Prof Ahmad Baiquni (alm), Salam melandaskan penelitian
fisikanya berdasarkan nash-nash Alqur'an, khususnya Surat Al-Mulk ayat 3 -
tentang keseimbangan ciptaan Alah. Ketika jenasahnya akan dimakamkan di
Pakistan, PM Benazir Ali Bhutto menganugerahkan penghargaan tertinggi kepada
Salam sebagai Putera dan pahlawan terbaik Pakistan. "Salam bukan sekadar
kebanggan Pakistan, tapi juga dunia,'' kata Benazir dalam pidato pemakaman
Salam.

Siapa sebenarnya Prof Dr Abdus Salam? Dia adalah pengikut Ahmadiyah Qodiani -
sebuah aliran yang oleh MUI dan mayoritas Islam di dunia - dianggap sesat dan
menyesatkan. Sebelum pemerintahan Benazir, Salam diusir dari Pakistan dan
dilarang menginjakkan kakinya di Tanah Suci Makkah. Semasa hidupnya Salam
sering jadi objek caci maki rakyat Pakistan dan Timur Tengah karena
ke-Ahmadiyah-annya.

Tapi di akhir hayatnya, - Salam justru dianggap Putra dan pahlawan Pakistan.
Seperti kebanggaan da'i di Jakarta, dan orang yang memaki-maki Salam kini
berbalik menjadi pemujanya yang fanatik. Dari gambaran itu, kita jadi aneh bila
melihat sahabat-sahabat kita di Bogor yang dengan membabi buta menghancurkan
kampus Ahmadiyah. Lebih ironis lagi, para penghancur ini sebagian mengaku orang
LPPI (Lembaga Penelitan dan Pengkajian Islam).

Bila dilihat namanya, LPPI mestinya lembaga kritis, berwawasan inklusif, dan
toleran akan perbedaan pendapat dalam Islam. Bukankah hadis Nabi sendiri
menyatakan perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat?

Tetap Membaca Syahadatain
Perbedaan paham antara Ahmadiyah dan Ahli Sunnah tak ada yang prinsipil. Jika
kaum Ahmadiyah mengaku ada nabi setelah Muhammad dan wahyu tetap diturunkan
kepada seorang nabi sampai sekarang, tidak prinsipil.
Kata nabi berasal dari kata naba'a - atinya pemberi kabar (dari langit).
Bukankah sampai hari ini pun banyak ulama atau kaum sufi yang karena kesucian
dan kezuhudannya sering mendapat berita langit? Lantas, nabikah dia?

Kaum Islam mayoritas mungkin menyebutnya wali atau ayatullah dalam Syiah!
Lagi-lagi, masalah ini sebenarnya tidak perlu menimbulkan fitnah dan
pengrusakan. Bukankah tokoh yang disebut-sebut nabi dalam Ahmadiyah Qodiani
masih tetap membaca Syahadatain, bahwa Tidak Ada Tuhan Kecuali Allah dan
Muhammad adalah Utusannya?

Perbedaan ketiga yang sebenarnya kurang prinsip adalah kata "khatamun
nabibyyin" - bahwa Muhammad adalah nabi yang sempurna. Para mufassir dan ulama
di Indonesia menterjemahkannya "Muhammad nabi yang sempurna" karena itu
Muhammad merupakan nabi terakhir.

Saudara kita di Ahmadiyah menerjemahkan khatamun nabiyyin nabi yang sempurna
tapi tidak yang terakhir. Menurut Ahmadiyah, masih ada nabi setelah Nabi
Muhammad, tapi tidak sesempurna Muhammad. Sejauh ini kaum Ahmadiyah tak pernah
berpendapat untuk menduakan Allah (musyrik) dan menolak Kerasulan Muhammad.

Karena itu, jauh lebih baik jika umat Islam mayoritas merangkul umat Islam
minoritas Ahmadiyah ketimbang menjadikannya musuh yang harus dihancurkan.
Apalagi peran kaum Ahmadiyah dalam menyebarkan Islam sangat besar. Sebagian
besar buku-buku Islam yang diterbitkan di Barat dan kemudian membawa orang
Barat simpati kepada Islam ditulis oleh orang Ahmadiyah.

Di berbagai wilayah di Indonesia - kecuali di Parung, Bogor - hubungan antara
muslim Ahmadiyah dan muslim mayoritas Indonesia (NU dan Muhammadiyah) baik-baik
saja.

Penulis adalah anggota
Komisi VIII DPR

http://www.freelists.org/archives/ppi/08-2005/msg00152.html


Read More......

Rabu, 20 Februari 2008

Ulasan syariah

Murtad dan Hukuman Mati

Oleh Abd Moqsith Ghazali*

Saya mendengar beberapa daerah dan tokoh Muslim di Indonesia sedang mempertimbangkan kemungkinan menerapkan hukuman mati bagi orang Islam yang pindah agama (murtad). Jauh sebelumnya, kerajaan Melaka di bawah kekuasaan Sultan Muzaffar Syah (1450-1458 M.) telah menerapkan hukuman mati bagi orang murtad melalui Undang-Undang Melaka (disebut juga: Undang-Undang Darat Melaka, Undang-Undang Melayu, Undang-Undang Negeri dan Pelayaran). Dalam UU tersebut pasal 36 ayat 1 disebutkan, "orang yang murtad dikenakan hukuman mati". Pandangan seperti ini biasanya didorong oleh sebuah hadits, "man baddala dinahu faqtuluhu" (barang siapa yang pindah agama, bunuhlah!).

Pertanyaannya, bisakah mengeksekusi mati orang Islam Indonesia yang pindah agama dengan mengacu pada hadits tersebut. Jawabannya: tidak bisa. Sebab, tidak sebagaimana kerajaan Melaka yang memang merujuk pada fikih Islam, Indonesia modern nan demokratis adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kita semua tahu bahwa konstitusi telah menjamin hak kebebasan beragama di Indonesia. Istiqamah dengan ketentuan itu, orang Indonesia yang pindah agama tak bisa dikriminalisasikan sehingga boleh dijatuhi sanksi hukum. Menjatuhkan hukuman mati bagi Muslim Indonesia yang pindah agama melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin kemerdekaan penuh bagi semua warganya untuk memilih atau meninggalkan suatu agama.

Selanjutnya, hadits di atas tak bisa dijadikan patokan. Ia tak meyakinkan dari berbagai sudut. Hadits itu bukan hadits mutawatir, melainkan hadits ahad. Menurut Imam Abu Hanifah, dalalah (penunjukan) hadits ahad adalah zhanni (relatif) dan bukan qath`i (pasti). Khudlari Bik, ahli Ushul Fikih, menjelaskan, hadits ahad tak bisa menaskh ayat-ayat umum dalam al-Quran. Jika keumuman ayat al-Quran bersifat qath`i, maka hadits ahad bersifat zhanni, sehingga menurut Tajuddin al-Subki dalam Jam`u al-Jawami`; yang zhanni tak boleh menaskh (abrogasi) yang qath`i. Sementara itu, tak ditemukan satu ayat pun dalam al-Quran yang memerintahkan untuk membunuh orang murtad. Al-Quran justeru menjamin kebebasan beragama. Jawdat Sa`id menilai bahwa hadits tersebut adalah dla`if, karena ia bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam; kebebasan beragama. Alhasil, hadits tersebut lemah dari sudut dalalahnya sehingga tak mungkin untuk menghapus ayat-ayat umum al-Quran yang mendorong kebebasan beragama.

Lebih jauh, Jamal al-Banna mempertanyakan integritas perawi hadits dimaksud. Menurutnya, perawi hadits yang menjelaskan tentang hukum bunuh bagi orang yang keluar dari Islam berakhir pada `Ikrimah. Ia dikenal meriwayatkan banyak hadits dari Ibn `Abbas. Namun, hadits-hadits dari `Ikrimah banyak ditolak Imam Muslim. Muslim hanya mengutip satu hadits yang diriwayatkan `Ikrimah, itu pun karena `Ikrimah meriwayatkannya bersama Sa`îd ibn Jubair, yaitu hadits tentang haji. Hadits tentang membunuh orang murtad itu tak tercantum dalam kitab Shahih Muslim. Penolakan Muslim ini bisa pahami, karena `Ikrimah di kalangan para ahli hadits dikenal sebagai pembohong (kadzdzab), sehingga sulit untuk diterima sekiranya ia meriwayatkan hadits. Keraguan tentang eksistensi hadits ini berlanjut, demikian Jamal al-Banna, karena para perawi hadits tersebut termasuk Ikrimah tak pernah menjelaskan sabab al-wurud hadits itu; dalam konteks apa dan untuk kepentingan apa Nabi Muhammad menyatakan hadits tersebut.

Lepas dari itu, sekiranya benar ada hadits yang demikian, sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tak pernah menghukum bunuh orang murtad. Dikisahkan dalam sejumlah literatur bahwa pada zaman Nabi sudah ada orang yang keluar dari Islam dan memeluk agama lain seperti Kristen. Sekurangnya, pada masa Nabi ada dua belas laki-laki Muslim yang keluar dari Islam, di antaranya adalah al-Harits ibn Suwaid al-Anshari. Dua belas orang itu kemudian pindah dari Madinah ke Mekah. Begitu juga `Ubaidullah ibn Jahsy. Setelah berpindah bersama isterinya (Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang Islam) ke Habasyah, ia memeluk Kristen dan meninggal dalam keadaan Kristen. Sekalipun sudah keluar dari Islam, Nabi tak membunuh mereka. Nabi tak memerintahkan sahabat mengejar mereka untuk dibunuh. Inilah fakta historisnya.

Pelbagai kelemahan pada hadits tersebut jarang diketahui oleh mereka yang hendak menghukum bunuh orang Islam yang pindah agama. Semoga setelah penjelasan ini sampai ke tangan mereka, semangat untuk membunuh orang murtad itu bisa menyusut. Insyaallah .[]

*Penulis adalah peneliti the WAHID Institute.


http://www.gusdur.net/indonesia/index.phpoption=com_content&task=view&id=2764&Itemid=40
. Read More......

Minggu, 17 Februari 2008

Opini

Menggagas Fikih Toleransi

Oleh Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda NU, Alumnus Universitas al-Azhar Kairo- Mesir; Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris; dan Pimred Jurnal PERSPEKTIF PROGRESIF.
FASILITAS

Dalam satu dasawarsa terakhir, kekerasan yang dilakukan dengan atas nama agama merupakan gejala yang bersifat masif. Yang paling menakutkan adalah aksi terorisme yang berbaju paham kemartiran. Yang paling mutakhir adalah aksi perusakan tempat-tempat ibadah dan kelompok minoritas dalam intraagama, seperti Jamaah Ahmadiyah dan lain-lain. Pertanyaannya, benarkah agama atau paham keagamaan merekomendasikan tindakan intoleran, bahkan kekerasan?

Harus diimani sejak awal bahwa agama apa pun mempunyai semangat yang sama untuk membangun toleransi dan menolak tindakan intoleran. Agama-agama mengusung kedamaian dan antikekerasan. Tapi, masalahnya selalu pada ranah sosial dan realitas keumatan.

Menurut para pakar sosiologi agama, selalu ada ketegangan antara agama dan paham keagamaan (Said Asymawi: 1996). Pada level tertentu, paham keagamaan menempati posisi yang paling sentral karena yang sampai kepada masyarakat bukan agama itu sendiri, tetapi paham keagamaan.


Bahkan, dalam tataran sosiologis, masyarakat agama-agama dibentuk oleh paham keagamaan itu sendiri. Masyarakat muslim di Maroko pada umumnya menganut mazhab Imam Maliki. Masyarakat Mesir menganut mazhab Imam Hanafi.

Masyarakat Indonesia menganut mazhab Imam Syafi’i. Masyarakat Madinah menganut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan masyarakat muslim di Iran menganut mazhab Syiah. Syi’ah pun dibagi ke dalam berbagai aliran-aliran kecil lainnya.

Kelompok yang tidak pernah mengenal fakta keragaman sosiologis seperti di atas akan mudah menganggap paham keagamaan sebagai agama itu sendiri. Konsekuensinya pun bisa berakibat fatal, yaitu munculnya klaim kebenaran dan sikap keberagamaan yang eksklusif. Lambat laun mulai terasa bangsa ini pun terjangkit penyakit yang amat menakutkan tersebut. Otoritas keagamaan sering digunakan sebagai alat untuk mengotoritarisasi paham keagamaan.

Munculnya fatwa keagamaan yang saling menyalahkan, bahkan menyesatkan berdasarkan paham keagamaan tertentu, merupakan salah satu pemandangan yang makin mempertegas munculnya paham keagamaan yang otoriter. Karena itu, perlu digalakkan upaya untuk melahirkan fikih toleransi (fiqh al-tasâmuh).

Fikih semacam itu mutlak diperlukan dalam rangka memberikan alternatif pemikiran dalam rangka menyikapi realitas kemajemukan, baik dalam lingkup intraagama maupun antaragama. Paham keagamaan sejak dahulu kala merupakan paham yang bersifat dinamis dan sintesis. Hampir tidak ada paham keagamaan yang bersifat otoriter karena yang otoriter hanyalah Tuhan. Karena itu, dengan sikap rendah hati dan asketis, para ulama senantiasa mengakhiri pandangannya dengan sebutan wallahu a’lam bi al-shawâb.

Ungkapan tersebut merupakan sebuah bentuk asketisme dalam paham keagamaan bahwa Yang Mahabenar dan Mahatahu hanyalah Tuhan. Sedangkan paham keagamaan yang dilahirkan para ulama merupakan pemikiran yang bersifat relatif. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali bersifat toleran terhadap paham lain yang berbeda.

Dalam hal ini, Muktamar Ke-31 Nahdlatul Ulama di Boyolali, Solo, telah melahirkan sebuah keputusan metodologis yang memberikan harapan bagi toleransi paham keagamaan. Yaitu, perlunya mengambil keputusan hukum Islam dari empat mazhab Sunni: Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i.

Dalam skala yang lebih luas, fikih toleransi sejatinya dapat menyentuh setidaknya tiga wilayah: Pertama, pada level diskursus keagamaan. Dalam hal ini, harus dimunculkan kesadaran masif bahwa pada hakikatnya agama membawa pesan toleransi, perdamaian, dan antikekerasan.

Dalam Alquran, banyak sekali pesan tentang toleransi. Misalnya, perlunya kebebasan dalam iman dan agama (QS. 109:6; ), tidak ada paksaan dalam beragama (QS. 2:256), serta koeksistensi dan saling menghargai (QS. 49:13). Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan jenazah orang Yahudi. Kemudian, para sahabat terkejut dan bertanya, "Bukankah jenazah tersebut adalah orang Yahudi?". Nabi menjawab, "Bukankah dia juga manusia."

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengibaratkan agama-agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan sebuah rumah. Sebelum Islam datang, rumah tersebut sudah berdiri tegak dan kukuh. Islam hadir tidak untuk menghancurkan rumah tersebut, melainkan hanya meletakkan sebuah batu bata di bagian pojok rumah.

Atas dasar inilah, Islam pada hakikatnya adalah agama yang memberikan toleransi terhadap eksistensi agama-agama lain. Apalagi terhadap keragaman dalam lingkungan Islam sendiri.

Kedua, pada level legal formal. Dalam rangka mengukuhnya visi toleransi, Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah senantiasa mengedepankan munculnya kesepakatan (gentle agreement) yang secara eksplisit menggariskan toleransi di atas nota kesepahaman. Misalnya, Perjanjian al-Fudhul (half al-fudhûl), Piagam Madinah (dustûr al-madînah), dan Perdamain Hudaybiyah (Shulh al-Hudaybiyyah). Pada pemerintahan Umar bin Khattab, juga muncul kesepakatan perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Umar (al-’Uhdah al-Umariyyah).

Sedangkan pada masa Ottoman, lahir Piagam Penaklukan Kontantinopel (Watsîqah Fath al-Qanthanthîniyyah). Keseluruhan kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para penguasa muslim pada masa lalu mempunyai kehendak politik untuk memilih toleransi sebagai pilihan utama. Sedangkan pilihan konflik atau perang merupakan sebuah pengecualian. Artinya, sebisa mungkin dihindari.

Ketiga, pada level basis material. Harus disadari bahwa toleransi bukanlah konsep kosong, tetapi sebuah konsep yang meniscayakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Toleransi harus mempertimbangkan distribusi ekonomi yang adil, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan.

Masyarakat yang tingkat distribusi ekonominya adil dan sejahtera jauh lebih mudah meminimalisasi kekerasan dan intoleransi daripada masyarakat yang dirundung kemiskinan dan kemelaratan.

Karena itu, kadang perlu dimaklumi pula bahwa sikap intoleran sering muncul dalam masyarakat yang papa secara ekonomi. Kekerasan di negara-negara seperti Afrika dan India pada umumnya disebabkan motif basis material yang tidak berkeadilan. Di sinilah distribusi ekonomi yang adil merupakan salah satu pintu menuju toleransi.

Fikih toleransi sejatinya dapat menjadi agenda nasional, baik pada level kalangan agamawan, wakil rakyat di parlemen, maupun penentu kebijakan ekonomi. Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja keras untuk mewujudkan toleransi.

Karena itu, John Locke benar tatkala berkata bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kebebasan di satu sisi, tetapi juga harus bersikap toleran di bawah naungan hukum yang disepakati bersama.

www.jawapos.com
http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=529

.
Read More......

Mau Lihat Pesawat Boeing Landing Di atas Mobil?