PM Canada Dan Komunitas Ahmadiyah Canada

Rabu, 20 Februari 2008

Ulasan syariah

Murtad dan Hukuman Mati

Oleh Abd Moqsith Ghazali*

Saya mendengar beberapa daerah dan tokoh Muslim di Indonesia sedang mempertimbangkan kemungkinan menerapkan hukuman mati bagi orang Islam yang pindah agama (murtad). Jauh sebelumnya, kerajaan Melaka di bawah kekuasaan Sultan Muzaffar Syah (1450-1458 M.) telah menerapkan hukuman mati bagi orang murtad melalui Undang-Undang Melaka (disebut juga: Undang-Undang Darat Melaka, Undang-Undang Melayu, Undang-Undang Negeri dan Pelayaran). Dalam UU tersebut pasal 36 ayat 1 disebutkan, "orang yang murtad dikenakan hukuman mati". Pandangan seperti ini biasanya didorong oleh sebuah hadits, "man baddala dinahu faqtuluhu" (barang siapa yang pindah agama, bunuhlah!).

Pertanyaannya, bisakah mengeksekusi mati orang Islam Indonesia yang pindah agama dengan mengacu pada hadits tersebut. Jawabannya: tidak bisa. Sebab, tidak sebagaimana kerajaan Melaka yang memang merujuk pada fikih Islam, Indonesia modern nan demokratis adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kita semua tahu bahwa konstitusi telah menjamin hak kebebasan beragama di Indonesia. Istiqamah dengan ketentuan itu, orang Indonesia yang pindah agama tak bisa dikriminalisasikan sehingga boleh dijatuhi sanksi hukum. Menjatuhkan hukuman mati bagi Muslim Indonesia yang pindah agama melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin kemerdekaan penuh bagi semua warganya untuk memilih atau meninggalkan suatu agama.

Selanjutnya, hadits di atas tak bisa dijadikan patokan. Ia tak meyakinkan dari berbagai sudut. Hadits itu bukan hadits mutawatir, melainkan hadits ahad. Menurut Imam Abu Hanifah, dalalah (penunjukan) hadits ahad adalah zhanni (relatif) dan bukan qath`i (pasti). Khudlari Bik, ahli Ushul Fikih, menjelaskan, hadits ahad tak bisa menaskh ayat-ayat umum dalam al-Quran. Jika keumuman ayat al-Quran bersifat qath`i, maka hadits ahad bersifat zhanni, sehingga menurut Tajuddin al-Subki dalam Jam`u al-Jawami`; yang zhanni tak boleh menaskh (abrogasi) yang qath`i. Sementara itu, tak ditemukan satu ayat pun dalam al-Quran yang memerintahkan untuk membunuh orang murtad. Al-Quran justeru menjamin kebebasan beragama. Jawdat Sa`id menilai bahwa hadits tersebut adalah dla`if, karena ia bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam; kebebasan beragama. Alhasil, hadits tersebut lemah dari sudut dalalahnya sehingga tak mungkin untuk menghapus ayat-ayat umum al-Quran yang mendorong kebebasan beragama.

Lebih jauh, Jamal al-Banna mempertanyakan integritas perawi hadits dimaksud. Menurutnya, perawi hadits yang menjelaskan tentang hukum bunuh bagi orang yang keluar dari Islam berakhir pada `Ikrimah. Ia dikenal meriwayatkan banyak hadits dari Ibn `Abbas. Namun, hadits-hadits dari `Ikrimah banyak ditolak Imam Muslim. Muslim hanya mengutip satu hadits yang diriwayatkan `Ikrimah, itu pun karena `Ikrimah meriwayatkannya bersama Sa`îd ibn Jubair, yaitu hadits tentang haji. Hadits tentang membunuh orang murtad itu tak tercantum dalam kitab Shahih Muslim. Penolakan Muslim ini bisa pahami, karena `Ikrimah di kalangan para ahli hadits dikenal sebagai pembohong (kadzdzab), sehingga sulit untuk diterima sekiranya ia meriwayatkan hadits. Keraguan tentang eksistensi hadits ini berlanjut, demikian Jamal al-Banna, karena para perawi hadits tersebut termasuk Ikrimah tak pernah menjelaskan sabab al-wurud hadits itu; dalam konteks apa dan untuk kepentingan apa Nabi Muhammad menyatakan hadits tersebut.

Lepas dari itu, sekiranya benar ada hadits yang demikian, sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tak pernah menghukum bunuh orang murtad. Dikisahkan dalam sejumlah literatur bahwa pada zaman Nabi sudah ada orang yang keluar dari Islam dan memeluk agama lain seperti Kristen. Sekurangnya, pada masa Nabi ada dua belas laki-laki Muslim yang keluar dari Islam, di antaranya adalah al-Harits ibn Suwaid al-Anshari. Dua belas orang itu kemudian pindah dari Madinah ke Mekah. Begitu juga `Ubaidullah ibn Jahsy. Setelah berpindah bersama isterinya (Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang Islam) ke Habasyah, ia memeluk Kristen dan meninggal dalam keadaan Kristen. Sekalipun sudah keluar dari Islam, Nabi tak membunuh mereka. Nabi tak memerintahkan sahabat mengejar mereka untuk dibunuh. Inilah fakta historisnya.

Pelbagai kelemahan pada hadits tersebut jarang diketahui oleh mereka yang hendak menghukum bunuh orang Islam yang pindah agama. Semoga setelah penjelasan ini sampai ke tangan mereka, semangat untuk membunuh orang murtad itu bisa menyusut. Insyaallah .[]

*Penulis adalah peneliti the WAHID Institute.


http://www.gusdur.net/indonesia/index.phpoption=com_content&task=view&id=2764&Itemid=40
. Read More......

Minggu, 17 Februari 2008

Opini

Menggagas Fikih Toleransi

Oleh Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda NU, Alumnus Universitas al-Azhar Kairo- Mesir; Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris; dan Pimred Jurnal PERSPEKTIF PROGRESIF.
FASILITAS

Dalam satu dasawarsa terakhir, kekerasan yang dilakukan dengan atas nama agama merupakan gejala yang bersifat masif. Yang paling menakutkan adalah aksi terorisme yang berbaju paham kemartiran. Yang paling mutakhir adalah aksi perusakan tempat-tempat ibadah dan kelompok minoritas dalam intraagama, seperti Jamaah Ahmadiyah dan lain-lain. Pertanyaannya, benarkah agama atau paham keagamaan merekomendasikan tindakan intoleran, bahkan kekerasan?

Harus diimani sejak awal bahwa agama apa pun mempunyai semangat yang sama untuk membangun toleransi dan menolak tindakan intoleran. Agama-agama mengusung kedamaian dan antikekerasan. Tapi, masalahnya selalu pada ranah sosial dan realitas keumatan.

Menurut para pakar sosiologi agama, selalu ada ketegangan antara agama dan paham keagamaan (Said Asymawi: 1996). Pada level tertentu, paham keagamaan menempati posisi yang paling sentral karena yang sampai kepada masyarakat bukan agama itu sendiri, tetapi paham keagamaan.


Bahkan, dalam tataran sosiologis, masyarakat agama-agama dibentuk oleh paham keagamaan itu sendiri. Masyarakat muslim di Maroko pada umumnya menganut mazhab Imam Maliki. Masyarakat Mesir menganut mazhab Imam Hanafi.

Masyarakat Indonesia menganut mazhab Imam Syafi’i. Masyarakat Madinah menganut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan masyarakat muslim di Iran menganut mazhab Syiah. Syi’ah pun dibagi ke dalam berbagai aliran-aliran kecil lainnya.

Kelompok yang tidak pernah mengenal fakta keragaman sosiologis seperti di atas akan mudah menganggap paham keagamaan sebagai agama itu sendiri. Konsekuensinya pun bisa berakibat fatal, yaitu munculnya klaim kebenaran dan sikap keberagamaan yang eksklusif. Lambat laun mulai terasa bangsa ini pun terjangkit penyakit yang amat menakutkan tersebut. Otoritas keagamaan sering digunakan sebagai alat untuk mengotoritarisasi paham keagamaan.

Munculnya fatwa keagamaan yang saling menyalahkan, bahkan menyesatkan berdasarkan paham keagamaan tertentu, merupakan salah satu pemandangan yang makin mempertegas munculnya paham keagamaan yang otoriter. Karena itu, perlu digalakkan upaya untuk melahirkan fikih toleransi (fiqh al-tasâmuh).

Fikih semacam itu mutlak diperlukan dalam rangka memberikan alternatif pemikiran dalam rangka menyikapi realitas kemajemukan, baik dalam lingkup intraagama maupun antaragama. Paham keagamaan sejak dahulu kala merupakan paham yang bersifat dinamis dan sintesis. Hampir tidak ada paham keagamaan yang bersifat otoriter karena yang otoriter hanyalah Tuhan. Karena itu, dengan sikap rendah hati dan asketis, para ulama senantiasa mengakhiri pandangannya dengan sebutan wallahu a’lam bi al-shawâb.

Ungkapan tersebut merupakan sebuah bentuk asketisme dalam paham keagamaan bahwa Yang Mahabenar dan Mahatahu hanyalah Tuhan. Sedangkan paham keagamaan yang dilahirkan para ulama merupakan pemikiran yang bersifat relatif. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali bersifat toleran terhadap paham lain yang berbeda.

Dalam hal ini, Muktamar Ke-31 Nahdlatul Ulama di Boyolali, Solo, telah melahirkan sebuah keputusan metodologis yang memberikan harapan bagi toleransi paham keagamaan. Yaitu, perlunya mengambil keputusan hukum Islam dari empat mazhab Sunni: Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Syafi’i.

Dalam skala yang lebih luas, fikih toleransi sejatinya dapat menyentuh setidaknya tiga wilayah: Pertama, pada level diskursus keagamaan. Dalam hal ini, harus dimunculkan kesadaran masif bahwa pada hakikatnya agama membawa pesan toleransi, perdamaian, dan antikekerasan.

Dalam Alquran, banyak sekali pesan tentang toleransi. Misalnya, perlunya kebebasan dalam iman dan agama (QS. 109:6; ), tidak ada paksaan dalam beragama (QS. 2:256), serta koeksistensi dan saling menghargai (QS. 49:13). Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW pernah mendoakan jenazah orang Yahudi. Kemudian, para sahabat terkejut dan bertanya, "Bukankah jenazah tersebut adalah orang Yahudi?". Nabi menjawab, "Bukankah dia juga manusia."

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengibaratkan agama-agama (Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan sebuah rumah. Sebelum Islam datang, rumah tersebut sudah berdiri tegak dan kukuh. Islam hadir tidak untuk menghancurkan rumah tersebut, melainkan hanya meletakkan sebuah batu bata di bagian pojok rumah.

Atas dasar inilah, Islam pada hakikatnya adalah agama yang memberikan toleransi terhadap eksistensi agama-agama lain. Apalagi terhadap keragaman dalam lingkungan Islam sendiri.

Kedua, pada level legal formal. Dalam rangka mengukuhnya visi toleransi, Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah senantiasa mengedepankan munculnya kesepakatan (gentle agreement) yang secara eksplisit menggariskan toleransi di atas nota kesepahaman. Misalnya, Perjanjian al-Fudhul (half al-fudhûl), Piagam Madinah (dustûr al-madînah), dan Perdamain Hudaybiyah (Shulh al-Hudaybiyyah). Pada pemerintahan Umar bin Khattab, juga muncul kesepakatan perdamaian yang dikenal dengan Perjanjian Umar (al-’Uhdah al-Umariyyah).

Sedangkan pada masa Ottoman, lahir Piagam Penaklukan Kontantinopel (Watsîqah Fath al-Qanthanthîniyyah). Keseluruhan kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan para penguasa muslim pada masa lalu mempunyai kehendak politik untuk memilih toleransi sebagai pilihan utama. Sedangkan pilihan konflik atau perang merupakan sebuah pengecualian. Artinya, sebisa mungkin dihindari.

Ketiga, pada level basis material. Harus disadari bahwa toleransi bukanlah konsep kosong, tetapi sebuah konsep yang meniscayakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Toleransi harus mempertimbangkan distribusi ekonomi yang adil, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan.

Masyarakat yang tingkat distribusi ekonominya adil dan sejahtera jauh lebih mudah meminimalisasi kekerasan dan intoleransi daripada masyarakat yang dirundung kemiskinan dan kemelaratan.

Karena itu, kadang perlu dimaklumi pula bahwa sikap intoleran sering muncul dalam masyarakat yang papa secara ekonomi. Kekerasan di negara-negara seperti Afrika dan India pada umumnya disebabkan motif basis material yang tidak berkeadilan. Di sinilah distribusi ekonomi yang adil merupakan salah satu pintu menuju toleransi.

Fikih toleransi sejatinya dapat menjadi agenda nasional, baik pada level kalangan agamawan, wakil rakyat di parlemen, maupun penentu kebijakan ekonomi. Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja keras untuk mewujudkan toleransi.

Karena itu, John Locke benar tatkala berkata bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kebebasan di satu sisi, tetapi juga harus bersikap toleran di bawah naungan hukum yang disepakati bersama.

www.jawapos.com
http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=529

.
Read More......

Senin, 11 Februari 2008

Pesona Indonesia

Wisata Religi Kota Semarang

Written by dahan
Wednesday, 05 December 2007


Gbr. Masjid Agung Semarang

1. KLENTENG GEDUNG BATU

Klenteng Gedung Batu atau Sam Poo Kong adalah tempat yang unik karena tempat peribadatan bagi umat Tri Dharma tetapi yang datang berziarah pemeluk agama lain, keberadaan klenteng ini tidak bisa dilepaskan dari sosok pelaut besar ,

Laksamana Cheng Hoo yang hidup pada zaman kaisar ketiga Dinasti Ming yaitu Zhu De, sang laksamana kemudian mendapatkan gelar Sam Poo Tay Djien, untuk menghormatinya didirikan tempat ibadah klenteng Gedung Batu atau disebut juga Sam Poo Kong.

Setiap tahun di klenteng ini diperingati Pendaratan Laksamana Cheng Ho, yang untuk tahun 2005 diperingati secara besar-besaran dengan tujuan untuk melestarikan kebudayaan sekaligus menarik wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Perayaan dilakukan dengan menggelar ritual mengarak patung Sam Poo Tay Djien dari kelenteng Tay Kek Sie di gang Lombok ke gedung Batu ke klenteng Gedung Batu.

2. GEREJA BLENDUK

Merupakan bangunan yang memiliki Gaya arsitektur Phantheon yang dibangun pada tahun 1750 dan dipugar tahun 1894 oleh HPA. De Widle dan Westmas. Gereja tersebut terletak di jalan Letjen Suprapto No. 30, nama asli dari gereja tersebut adalah Gereja Emmanuel, tetapi karena bentuknya yang berkubah cembung sehingga gereja ini dikenal dengan nama Gereja Blenduk. Yang menarik dari gereja ini adalah interior dan susunan Orgel masih asli sejak pendeta pertama Johanes Wihelkmus Semkar dari Tahun 1753-1760. Sebagai salah satu bangunan kuno di lingkungan Kota Lama bangunan ini bisa dikunjungi setiap hari.

3. VIHARA BUDDHAGAYA

Vihara yang dulu dikenal dengan nama Vihara Watugong, karena letaknya di daerah Watugong Semarang ini adalah vihara yang pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1957. Atas prakarsa Po Soen Ko, saat ini telah dibangun Pagoda dengan ketinggian 45 m dengan nama Pagoda Avalokitesvara. Pagoda yang tertinggi di Indonesia ini memiliki tujuh lapis tingkat, yang didalamnya terdapat sebuah patung Budha raksasa yang bersemedi dan patung Dewi Kwan Im di dinding lantai pertama yang menghadap empat penjuru mata angin. Sering disebut pula sebagai Pagoda Metakaruna, dengan meta berarti cinta kasih dan karuna adalah kasing sayang, keduanya merupakan landasan pembentukan moralitas umat Budha.

4. VIHARA MAHAVIRA

Vihara yang dibangun mulai akhir tahun 2001 di atas lahan seluas 1.688 ha ini memiliki nama lengkap Vihara Mahavira Graha. Sering disebut-sebut pula sebagai vihara terbesar di Jawa Tengah, yang terdiri atas tujuh lantai, dan dengan keunikannya memiliki 88 arca Budha dalam posisi abayamudra dan 32 arca Avalokitesvara (Kwan Im) yang menghiasi sekeliling vihara. Selain untuk tempat beribadah, dimaksudkan pula sebagai tempat pendidikan calon bhiksu dari aliran Mahayana.

5. MASJID MENARA

Dinamakan mesjid Menara karena menara mesjid ini bentuknya seperti mercu suar, dan ini menjadi penanda untuk kawasan jalan Layur, mesjid menara didirikan oleh saudagar sekaligus ulama dari Yaman yang datang ke Semarang sambil berdagang namanya Abah Bani Hasyim, mesjid Menara didirikan pada tahun 1802, dengan menara ala mercu suar setinggi hampir 21 meter. Namun karena pernah tersambar petir maka tinggi menara kini tinggal 13 meter. Konon bentuk menara dengan kap bercorak Mongolia seperti itu hanya ada di mesjid-mesjid Malaysia.

6. MASJID AGUNG JAWA TENGAH (MAJT)

Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) berlokasi di Jalan Gajah Raya dan telah disremikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ditinjau dari segi arsitekturnya sungguh membanggakan, dengan bangunannya meneladani prinsip gugus model kluster dari Masjid Nabawi di Madinah. Bentuk penampilan arsitekturnya merupakan gubahan baru yang mengambil model dari tradisi masjid para wali dengan corak universal arsitektur Islam pada bangunan pusatnya dengan menonjolkan kubah utama yang dilengkapi dengan minaret runcing menjulang di keempat sisinya.

Masjid beserta fasilitas pendukungnya menempati tanah bandha Masjid Agung Semarang seluas 10 ha di Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Masjid itu mampu menampung jamaah lebih kurang 13.000 orang. Berdasarkan tata ruang, dalam bangunan masjid tersebut terdapat ruang shalat, tempat berwudhu, ruang kantor, ruang kursus dan pelatihan, ruang perpustakaan, ruang akad nikah dan auditorium.

.
Read More......

Jumat, 08 Februari 2008

Indonesiaku

Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke-9

Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk mengunjungi bangunan yang termasuk dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati.

Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.

Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.

Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.

Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.

Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa' berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi.

Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya sama sekali.


Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo: PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu-Boko
Peta & Artistik: Sutrisno

http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/borobudur/
.
Read More......

Sekilas Info

SMP-SMA Arif Rahman Hakim “Boarding Class”
Status: Terakreditasi
Jl. Taman Makam Bahagia ABRI
Kel. Parigi, Kec. Pondok Aren, Tangerang, Banten 15227
Telp. 021-74862521

SMP-SMA ARH (Arif Rahman Hakim) mulai tahun pelajaran 2008/2009 membuka program “Boarding Class” yang menyelenggarakan program pendidikan terpadu, mengintegrasikan system pendidikan umum dengan system pendidikan kejemaatan untuk mengantarkan anak-anak generasi muda Jemaat mendalami ilmu umum guna dapat memasuki perguruan tinggi dan juga membimbing mereka dalam mendalami ilmu agama dan kejemaatan.
Di SMP-SMA ARH Boarding Class, anak-anak tidak saja belajar dikelas, akan tetapi juga mereka akan berada dalam pendidikan asrama yang terbimbing.

SMP-SMA ARH juga terletak di kawasan yang padat oleh berbagai lembaga pendidikan mulai yang bertaraf nasional hingga sekolah yang bertaraf internasional seperti British International School, Japan International School, Sekolah Internasional Global Jaya, Sains Center School Pembangunan Jaya, dll.
SMP-SMA ARH juga telah dilengkapi fasilitas penunjang pendidikan seperti gedung sekolah sendiri dengan jumlah murid 1000 siswa terdiri dari 13 kelas tingkat SMP dan 11 kelas tingkat SMA. SMP-SMA ARH juga telah di lengkapi dengan Lab.Fisika, Kimia dan Komputer.
Sejak berdiri pada tahun 1990, SMP-SMA ARH telah melahirkan lulusan yang berkualitas. Alumni SMP-SMA ARH banyak diterima di STAN, AKABRI dan berbagai dunia kerja.
Untuk mengoptimalkan program ini, SMP-SMA ARH Boarding Class akan segera membangun ruang kelas full AC yang baru, dilengkapi dengan alat bantu proses pembelajaran modern seperti OHP, in-focus, Komputer dan internet agar atmosfir pembelajaran dapat merangsang interest para siswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran secara aktif.
Anda tertarik dengan penawaran ini?

Hubungi:
Sukarta, M.Pd. 0817-890169
A.Munaji, S.Pdi. 0815-10597728
Jafaruddin NZ,S.Pd. 021-99748808
Wawan AR, SE. 0813-81335837
.
Read More......

Opinion

Islam’s Response to Terrorism
Abdul Ghany Jahangeer Khan

Islam means the religion of peace. A person following Islam will find that he or she is surrounded by noble teachings, the aim of which is to establish peace between man and Allah, the Creator of all; between man and man; and between man and the rest of Allah’s creation.

How does such a religion deal with the issue of terrorism? And what does the word terrorist mean? Dictionaries will define a terrorist as one who systematically uses violence and intimidation to achieve political ends – or one who controls or forces others to do something by violence, fear or threats.

All these definitions are covered by two words in the Holy Qur’an, the sacred book of Islam: Fitnah and Ikrâh.

In the Holy Qur’an, God begins to deal with the issue of terrorism by teaching Muslims never to become terrorists in the first place. Two of the very first verses of our Holy Book say: ‘Al-Fitnatu ashad-du minal qatl’ – meaning that in the sight of Allah, ‘persecution, or making people constantly fear for their lives, is much worse than killing’. And also: ‘Lâ ikrâha fid-dîn’ – ‘There shall be no compulsion in religion’, that is to say, that no one has the right to force others into complying with their demands or compelling others to follow their line of thinking.

Allah Almighty warns the believers again and again that they should never abandon Him, the source of all goodness. Allah Almighty reminds us that it is those who have abandoned Him and thrown away all good, and divested themselves of every shred of human decency, that are the ones who will eventually resort to terrorizing others, forcing them into complying with their demands. The believers are repeatedly reminded that they would lose Allah Almighty’s love and His favors if they ever began to behave in that way.

But Islam does not content itself with these injunctions strongly forbidding Muslims from ever becoming terrorists. It also makes sure that the believers are made into highly moral, excellently behaved people, by inculcating those lofty human values that can turn them into people who sincerely love humankind without distinction of religion, race or social status. Islam no doubt encourages the logical and rational discussion of views with people of all creeds in a calm and dispassionate way, with the only aim that truth prevail over error and falsehood. But it also reminds us that it is error and falsehood as such that are to be hated and detested. The people who unfortunately hold on to error are never to be hated. That is why the motto of the Ahmadiyya Muslim Community is ‘Love for all, hatred for none.’

In Islam, an amazingly powerful emphasis is laid on developing love for mankind and on the vital importance of showing mercy and sympathy towards every creature of Allah Almighty, including human beings and animals. For indeed, love and true sympathy are the very antidote of terrorism.

It is related by ‘Ayesha, may Allah be pleased with her, the talented wife of the Holy Prophet Muhammad, may peace and blessings of Allah be upon him, that some desert Arabs came to him one day and asked: ‘Do you kiss your children?’ He answered: ‘Yes.’ They said: ‘We never kiss them.’ The Prophet (sa) said:‘What can I do if your hearts have been stripped of compassion?’ He also said that Allah Almighty has no mercy for him who has no mercy for his fellow beings.

The measure of compassion shown by the Holy Prophet (sa) cannot but amaze anyone who knows how rough and violent was the society into which he had been born. Abu Qatâdah, may Allah be pleased with her, relates that the Messenger of Allah told him: ‘It happens that I stand up to lead the prayer, having in mind to lengthen it. Then I hear the cry of an infant and I shorten the prayer fearing lest I should cause inconvenience to its mother.’

Far from inciting hatred and aggressiveness in its followers, Islam keeps on enjoining kindness and sympathy for all. The Holy Prophet Muhammad, may peace and blessings of Allah be upon him, said: ‘Charity is incumbent upon every human limb every day on which the sun rises. To bring about reconciliation between two contestants is charity. Helping a person mount his animal or to load his baggage on to it is charity. A good word is charity. Every step taken toward the mosque for prayer is charity. To remove anything from the street that causes inconvenience is charity.’

He incessantly admonished Muslims to behave well towards their neighbors, saying: ‘That one will not enter Paradise whose neighbor is not safe against his mischief.’

He also declared: ‘By Him in Whose Hands is my life, you will not enter Paradise unless you believe, and you will not truly believe unless you love one another. Shall I tell you something whereby you will love one another? Multiply the greeting of peace among yourselves.’

One day he found a mother bird beating her wings on the ground in distress. He asked his companions: ‘Who has done this?’ They said: ‘We took her young ones out of her nest.’ The Holy Prophet (sa) said: ‘Restore them to her. No mother must be tormented on account of her child.’

On another occasion, he found one of his companions setting fire to an anthill. He immediately told them to put out the fire saying: ‘No one has the right to torment others with fire.’

As Allah Almighty says in the Holy Qur’an that the true believers are: ‘those who suppress their anger and forgive people’, likewise, the Holy Messenger of Allah, Muhammad, may peace and blessings of Allah be upon him, said: ‘Allah is Gentle and loves gentleness in all things. Make things easy and do not make them hard. And cheer people up and do not repel them.’

It is clear that the true believers and all other good, honest people are always on the receiving end of terrorism, never on the delivering end. Whenever such tendencies appear in society by which the peace is being disturbed and people cannot live their lives without fear, Muslims are enjoined to counter them first of all by reasoning with those responsible for the disturbance. The Holy Qur’an says:

Call unto the way of your Lord [that is the way of justice and goodness] with wisdom and goodly exhortation, and argue with them in a way that is best. (Ch.16: v.126)

And the Qur’an repeatedly tells us to seek help from Allah Almighty with patience and p r a y e r. But if reasoning with those people bent on wickedness and praying for them fail to bring about a change in their ways, then Allah Almighty says, again at the end of Chapter 16, verse 127:

‘Then if you desire to punish the oppressors, punish them to the extent you have been wronged.’

Allah Almighty commands the Muslims that when things get out of hand, they should join forces to restore peace by use of reasonable force. They have been enjoined by the Holy Prophet Muhammad, may peace and blessings of Allah be upon him, to join forces if need be with followers of other faiths to do so. Thus, in the famous document known as the Treaty of Medina, The Messenger of Allah declared:

Article 1:
This is the treaty of Muhammad, the Prophet (the Messenger of Allah) between the Believers and Muslims of the Quraish and the people of Yathrib, and between those who follow them and join them in fighting (the common enemy).

Article 2:
And it is that they constitute an Ummah Wâhidah (One Nation) separate from other people.

Article 25:
And also that the Jews of the tribe of ‘Auf constitute an Ummah Wâhidah with the Believers - even though the Jews will follow their own religion and the Muslims will follow their own - and this will include both their friends and themselves. (Quoted from Reuben Levy in ‘Sociology of Islam, part I, pages 279-282)

Here, all the inhabitants of the city of Yathrib, or Medina, were called upon to join in fighting the forces that were terrorizing the citizens.

Muslims have been made to promise that they will help defend the followers of other faiths from unjust and cruel attacks as well. For example, in his charter for all time to come addressed to all Christians living as citizens under Muslim rule, the Holy Prophet Muhammad, may peace and blessings of Allah be upon him, states:

I promise that any monk or wayfarer who will seek my help on the mountains, in forests, deserts or habitations, or in places of worship, I will repel his enemies with my friends and helpers, with all my relatives and with all those w ho profess to follow me and will defend them, because they are my covenant. And I will defend the covenanted against the persecution, injury and embarrassment of their enemies in lieu of the poll tax they have promised to pay. If they prefer to defend their properties and persons themselves, they will be allowed to do so and will not be put to any inconvenience on that account.

No bishop will be expelled from his bishopric, no monk from his monastery, no priest from his place of worship, and no pilgrim will be detained in his pilgrimage. None of their churches and other places of worship will be desolated or destroyed or demolished. No material of their churches will be used to build mosques or houses for the Muslims; any Muslim doing so will be regarded as recalcitrant to Allah and His Prophet. Monks and Bishops will be subject to no tax or indemnity whether they live in forests or on rivers, in the East or in the West, in the North or in the South. I give them my word of honor. They are on my promise and covenant and will enjoy perfect immunity from all sorts of inconveniences. Every help shall be given them in the repair of their churches. They shall be absolved of wearing arms. They shall be protected by the Muslims. Let this document not be disobeyed till Judgment Day.” (Quoted from Balâdhar)

In Islam, every effort is thus made to protect the peace of not only the Muslims, but also of the followers of other faiths. Allah Almighty says:

And if Allah did not defend some men by means of others, there would surely have been pulled down monasteries, churches, synagogues and mosques wherein the name of Allah is oft remembered. (Ch.22: v.41)

However, Muslims have been warned by the Holy Founder of Islam, Muhammad, the Messenger of Allah, may peace and blessings of Allah be upon him, that when they enter the territory of those who have been terrorizing and harshly persecuting them, they should not lose all sense of perspective and justice, and be tempted to start acting savagely, like the terrorists themselves. The worst crime of ungratefulness would be that committed by a people who, having forgotten that they had just been subjected to terrible cruelties, start meting out the same, if not worse, cruelties to others. The Prophet ordered:

‘You will meet those who remember Almighty Allah in their houses of worship. Have no dispute with them, and give no trouble to them. In the enemy country, do not kill any women or children, or the blind, or the old. Do not pull down any tree; nor pull down any building.’ (Quoted from Halbiyyah, Vol.3).

So the only Jihad permitted in Islam is the war of the oppressed against the oppressor, the war waged to protect the peace of all people irrespective of their religion or creed. Tactics used today such as suicide bombing, etc. are absolutely out of the question for true followers of Islam. Allah Almighty says:

And kill not your own selves. Surely Allah is Merciful to you. (Ch.4: v. 30)

…and cast not yourselves into ruin with your own hands… (Ch.2: v.196)

Islam strictly forbids the killing of innocent, non-aggressive people:…no hostility is allowed except against the aggressors. (Ch.2: v.194)

These three verses alone are sufficient to prevent Muslims from crashing airplanes into buildings, or from sending suicide bombers to blow up innocent civilians.

Once the evildoers have ceased misbehaving and have been justly punished for their crimes, then Allah Almighty says:

And fight them until there is no more persecution, and religion is freely professed for Allah. But if they desist, then remember that no hostility is allowed except against the aggressors. (Ch.2: v.194)

To sum up, Islam advocates three steps against terrorism:

To give an excellent moral upbringing to all Muslims, so that they become upright, just, moral, kind and loving people, thereby ensuring that they never disrupt the peace of others.
Whenever the peace is disrupted, to reason and argue with the evildoers, and sincerely pray for them, to make them change their ways.
If all reasoning fails, then to join forces with all good people to combat the mischief-mongers until peace has been restored, but always keeping the dictates of justice in view.
It is our belief that not only Islam, but no true religion, whatever its name, can sanction violence and bloodshed of innocent men, women and children in the name of Allah Almighty. Terrorists may use religious or political labels, but no one should be deceived by their wily ways and treacherous guiles. They have nothing to do with religion. They are the enemies of peace. They must be combated at every level as advocated by Islam, the religion of peace.
.
Read More......

Kutipan Hikmah

Adakah Sistem Islami?

Dalam kitab suci Al-Quran disebutkan: "masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulu fi al-silmi kaffah)" (QS al-Baqarah [2]:208)1. Di sinilah terletak perbedaan pendapat sangat fundamental diantara kaum muslimin. Kalau kata "al-silmi" diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami.

Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai ssuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan "partai politik Islam" dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka.

Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non-muslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini, sering disebut muslim nominal atau abangan-,tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama "kaum santri".

Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci al-Quran? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai "muslim yang baik", sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci al-Quran, yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dab sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.

Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci al-Quran dengan istilah "mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan" (wa al-mufuna bi'ahdihim idza 'ahadu) (QS al-Baqarah [2]:177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi masing-masing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?

Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap "muslim yang taat". Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, karena banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak memntingkan arti sitem.

Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushus al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).

Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh orang-orang non-muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang dikemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat diantara kaum muslimin di kawasan tersebut.

Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan-badan formal Islam bukanlah satu-satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyah beberapa abad yang lalu.

Lalu bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; "Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukkan"(La Islama illa bi Jama'ah wala Jama'ata illa bi Imarah wala Imarata illa bi Tha'ah). Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan tersebut menunjukkan secara spesifik adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.

Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain.

(Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hal.3-7)
. Read More......

Opini

MUI Dulu, MUI Sekarang


KOLOM: Hukum EDISI : 28
MUI yang dulu melang- gengkan status quo dan merestui keinginan penguasa. MUI yang sekarang memproduksi fatwa yang tak mampu menghalangi kekerasan, pengusiran dan penghancuran masjid dan sekolah. Ketika itu 7 Rajab 1395 H, atau tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, terjadi pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air.
Sekitar 53 orang orang ulama dan aktivis dari berbagai ormas Islam, seperti antara lain Muhammadiyah, NU, al Irsyad al Washilyah dan al-Ittihadiyah berkumpul di pertemuan itu untuk melakukan persalinan lembaga bernama Majelis Ulama Indonesia.
Ide pendirian MUI ketika itu konon diarahkan, direstui dan didukung penuh oleh Presiden Soeharto. Terpilihlah sebagai Ketua MUI pertama Prof Hamka.

Salah satu fungsi penting yang diemban organisasi ini ketika itu adalah memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Di awal berdirinya, saat dipimpin ulama kharismatik Buya Hamka, MUI bisa menempatkan diri sebagai organisasi independen dan berwibawa serta menjadi alat kontrol efektif terhadap pemerintah.
Salahudin Wahid mengatakan bahwa pada awal perkembangan MUI, di bawah pimpinan Hamka, MUI cukup bagus dan aspiratif dalam mengakomodasi kepentingan umat, namun lama kelamaan ternyata fungsi-fungsi mulai berubah. "MUI kemudian menjadi corong pemerintah dan kedudukannya inferior di bawah pemerintah."
Sepak terjang MUI yang seperti itu sempat menimbulkan hubungan tak harmonis dengan pemerintah Soeharto, terutama berkaitan dengan dikeluarkannya fatwa larangan mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Buntutnya, Buya Hamka terpaksa mundur dari jabatannya.
Era sesudah itu, MUI relatif dekat dengan pemerintah. Bahkan terkesan menjadi corong pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional seperti kebijakan keluarga berencana (KB) dan ekspor kodok.
MUI pulalah yang menyetujui SDSB (Sumbangan Sosial Berhadiah), dengan alasan untuk keselamatan dan persatuan bangsa padahal jelas sekali sikap itu merupakan tekanan dari Soeharto untuk menjaga keselamatan penguasa Orde Baru. Sikap itu amat sangat menyakitkan dan mengorbankan keselamatan umat, merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
MUI saat itu begitu mudahnya ditipu Abdul Gafur untuk menerima
hadirnya SDSB, seperti dikatakan mantan Menteri Agama Tarmidzi Taher, hanya dengan mengatakan "Cara pengumpulan dana seperti itu juga sudah seperti di negeri Arab. Ulama macam apa itu? Hanya dengan mendengar sudah terjadi di negara Arab, dianggap otomatis Islami" seru Tarmidzi.
Setelah kasus isu lemak babi di tahun 1988 yang meresahkan masyarakat, MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM). MUI juga kemudian memprakarsai berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diresmikan di Istana Bogor pada tanggal 30 Oktober 1991.
Sebagai lembaga masyarakat yang sempat lama mencicipi politik otoriter rezim Soeharto, MUI tidaklah bebas dari kepentingan dan bias politik. Bahkan rekam jejak MUI sedikit banyak mengisahkan lembaga yang berbau kepentingan politik.
Pada Kongres Umat Islam Indonesia bulan November 1998, masih lekang dalam ingatan publik betapa besarnya peran citra Kelompok Doa Bersama, yang terdiri dari sekelompok tokoh umat yang menggiring umat Islam untuk pejah gesang nderek Soeharto. Sikap itu dimotori MUI.
"Dulu kelompok itu selalu berdoa, agar Soeharto tetap sehat-sehat saja. Agar Soeharto memimpin bangsa ini selama-lamanya. Setelah Soeharto lengser keprabon, kelompok doa bersama mendukung BJ Habibie. Kekhasan mereka selalu memakai label-label Islam. Dulu kelompok ini berpikir Soeharto itu seolah-olah "Sayyidina
Ali". Itulah ungkapan yang mereka kembangkan, " sebut Ridwan Saidi mengenang.
Apa kiprahnya doa bersama? MUI melakukan gerakan untuk mempertahankan status quo. Lalu bermaksud mempertahankan pemerintahan Habibie yang dianggap kelanjutan dari Orde Baru.
MUI di era rezim Soeharto juga gemar melempar seruan agar umat Islam memilih wakil rakyat yang beragama Islam. Seruan itu tentu saja bermaksud mengarahkan suara umat untuk memilih Haji Muhammad Soeharto. Tokoh Cendikiawan NU Masdar Masudi melihat MUI tidak ubahnya sebagai pelicin jalan bagi pemerintah untuk mendapatkan dukungan dari umat.
Perhatian yang besar yang diberikan MUI kali itu tidak berkorelasi positif dengan kepentingan umat. Agak sulit dilupakan betapa MUI ketika lebih banyak melayani penguasa yang represif tinimbang membela hak-hak rakyat yang banyak diabaikan oleh penguasa.
Cendikiawan Muslim Said Agil Siradj oleh karenanya tak menampik betapa dalamnya keterlibatan politik MUI dalam membela penguasa. Jauh sebelum Gus Dur ingin membubarkan MUI, di tahun 1998 Said Agil mengusulkan pembubaran MUI. Alasannya antara lain karena MUI adalah organisasi produk Rezim Orde Baru, kental sekali dengan pemaksaan kehendak. Berdirinya MUI dituding Said dengan maksud untuk menyetir para ulama demi kepentingan pemerintah dalam memepertahankan status quo.
MUI pula disebut Said hanyalah organisasi ulama yang cuma menge-luarkan fatwa-fatwa tertentu dalam menyikapi situasi maupun kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Sikap ini samasekali tidak dibarengi dengan kualitas dakwah dan pendidikan kepada umat. Bahkan dalam mengeluarkan fatwapun MUI cenderung membela pemerintah. Kritik seperti inipun disampaikan Gus Dur dengan mengatakan MUI hanya sebagai perpanjangan tangan Departemen Agama.
Itulah kenyataan Majelis Ulama Indonesia di masa lalu. Kenyataan yang telah mengkhianati keagungan ulama sebagai Warasatal Anbiya yang seharusnya menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi dengan pemihakan kepada keadilan dan kepada nestapa kaum tertindas dari permainan politik maupun kekuasaan agama.
Fatwa MUI memang bermaksud melindungi umat, tetapi bukankah MUI juga berkewajiban untuk memberikan fatwa sesat bagi setiap upaya-upaya penyerangan yang terjadi pada pemeluk Ahamadiyah di Manislor Kuningan yang mengakibatkan kekerasan, penghancuran masjid, sekolah dan luka-luka pada anak-anak dan ibu-ibu?
MUI pula bertanggungjawab untuk melakukan dialog pemikiran kepada tarekat Wahidiyyah, atau kelompok salat dua bahasa yang mengalami pengusiran dan penangkapan karena fatwa sesat MUI.
Rakyat kini menunggu lahirnya ulama yang menyadari marwahnya sehingga mampu menjaga harga dirinya dari kepentingan politik. Karena harga seorang ulama semestinya berada di atas preferensi politik apapun. Ulama melindungi dan menjaga umat dari kebodohan, ketidakadilan, kekerasan bahkan dari kelaparan. Sudahkah itu dilakukan MUI?
http://www.adilnews .com/?q=en/ mui-dulu- mui-sekarang
.
Read More......

Opini

GUS DUR: Kembali ke Konstitusi
KOLOM: Berita Utama EDISI : 28
Apa Alasan Gus Dur menyatakan MUI harus dibubarkan?
Karena MUI itu melanggar UUD 1945. Padahal, di dalam UUD itu menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan kemerdekaan berbicara.
Mengapa MUI tidak melakukan peninjauan atas konstitusi yang isinya begitu gamblang itu?
Karena mereka itu goblok. Itu saja. Mestinya mereka mengerti. Mereka hanya melihat Islam itu sebatas institusi saja, padahal Islam itu adalah ajaran.
Apa seharusnya sikap MUI terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan itu?
Dibiarkan saja. Karena itu sudah jaminan UUD. Harus ingat itu.
Sejauh mana kita toleran terhadap aliran-aliran itu?
Dibiarkan saja. Nanti juga ada proses sendiri. Masyarakat juga akan memilih sendiri.
Idealnya, MUI itu perannya apa?
Kalau mau berperan, MUI itu perannya besar. Yaitu tentang pemikiran-pemikiran keagamaan Islam. Misal saja, ada surat At Takaasur, di dalam tafsir ayat itu diterangkan untuk berbanyak anak dan harta benda. Kenapa tidak pernah berfikir untuk memperbanyak suara dalam pemilu. Lha wong itu terjadi.
Kedua, berfikir tentang Islam saja tidak cukup. Kita juga harus berfikir tentang Islam di Indonesia.
Apa yang membedakan Islam Indonesia?
Ya konstitusi.
Kalau dari historitas pendirian MUI, apakah menurut Gus Dur dari awal sudah tidak ideal?
Karena MUI itu alatnya Departemen Agama.
Apa pengertian "alat"?
Apa yang diinginkan Departemen Agama MUI jalankan. Kenapa MUI ribut tentang al Qiyadah, dan sempalan lain tapi sedari dahulu tidak ribut mengenai pemerintahan yang tidak demokratis, korupsi. Sebetulnya begitu banyak yang bisa dipikirin dan diomongin tapi ternyata MUI tidak berani.
Kalau MUI adalah alat negara, lalu apa keuntungan negara mengusik cara beragama kaum minoritas?
Karena pemerintah dari dulu itu selalu berpikir "mengapa tidak bisa campur tangan". Birokrasi kita itu kan selalu ingin campur tangan ke segala hal. Justru saya menegakkan demokrasi itu untuk menghindarkan campur tangan itu.
MUI itu membuat fatwa sesat itu melalui masukan dari umat tapi mereka tidak mentolelir bahwa kekerasan itu bukan implikasi dari fatwa mereka?
Itu omongan orang goblok mas. Kenapa sih dipake aja? Itu karena mereka melihat Islam dari institusi saja.
Gus Dur merasa perlu MUI harus dibubarkan?
MUI itu difungsikan oleh Departemen Agama untuk melanggar UUD. Kita sudah dijamin di UUD untuk kebebasan berbicara dan berpendapat. MUI itu lupa, bahwa kita hidup di Republik Indonesia. Jadi sejak tahun 1926 NU itu selalu meminta Islam dan nasionalis itu berdialog, bukan marah-marahan kayak gitu. Yang sekarang dilakukan oleh MUI terutama Kiai Ma'ruf Amin itu bertentangan dengan UUD. Mereka lupa bahwa yang dilakukan MUI itu ada dua yaitu Islam dan Nasionalis. Bukan hanya mempertahankan ajaran Islam saja. Yang dia lupa juga adalah "Islam di Indonesia".
Kata MUI, meski mereka mengeluarkan fatwa sesat mereka tidak pernah mempelopori tindakan kekerasan?
MUI itu goblok. Dia itu harus tahu apa yang diputuskan dan diomongkan. Itu punya akibat berat.
Mereka hanya bilang "kami membela Islam"?
Sekarang saya tanya. MUI ngomong begitu itu terus apa dia berani mengatakan bahwa pemerintahan ini tidak demokratis. Kalau itu dia tidak berani ngomong. Padahal sudah terjadi pelanggaran konstitusi.
Apakah semua orang Islam di Indonesia menyerahkan urusan ke MUI?
Ya itu, makanya, kok ngomong seenaknya saja. Yang paling penting, MUI itu hanya salah satu ormas dari sekian banyak ormas Islam.
Harusnya bagaimana Gus?
Ya biarkan saja. Umat Islam di Indonesia ini ada dua macam. Ada umat Islam yang referensinya UUD, yaitu jaminan kebebasan berpendapat dan berbicara dan ada umat Islam yang referensinya ajaran Islam itu sendiri. Ya kita harus jujur untuk mengamali ini.
Apakah di dalam Islam Indonesia tidak ada otoritas?
Tidak ada. Ada ujar-ujar di dalam Islam: "Tidak ada agama tanpa pengelompokan, dan tidak ada pengelompokan kecuali ada kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan bila tidak ada sang pemimpin." Selesai sudah.
Berarti Islam Indonesia tidak ada pemimpin?
Mestinya ada. Tapi dalam kita bernegara kita menghilangkan Mufti. Itu masalahnya.
Bisa dijelaskan "menghilangkan Mufti"?
Memang tidak ada. Mau diapain lagi. Lalu oleh Departemen Agama dicoba dibuat Mufti. Supaya mereka bisa didengar. Tapi dia tahu itu melanggar UUD. Lalu mereka serahkan kepada MUI sebagai Muftinya.
MUI itu memberikan "fatwa sesat" karena ada keresahan di masyarakat?
Mana keresahan di masyarakat. Apa keresahannya? Lha wong mereka yang menentukan kok. Yang resah itu yang tolol-tolol saja.
Siapa sesungguhnya yang bisa mengeluarkan fatwa sesat, apakah kejaksaan, pengadilan?
Yang bisa sebetulnya Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Saya sudah bilang dari dulu, jangan gunakan kata sesat. Sebab kalau kita pandang orang lain sesat kita juga dipandang sesat pula. Orang Mu'tazilah memandang kita sesat, orang Syiah pula, belum lagi kalau orang Kristen, orang Hindu, Budha memandang kita, mereka itu kalau memandang kita, ya sesat. Bagaimana jadinya kita.
Di MUI isinya juga ada orang NU?
Tidak peduli NU atau tidak NU, harus diberantas. Karena bertentangan dengan UUD.
Di Indonesia ini menurut Gus Dur tidak ada pemimpin, lalu kalau ada konflik di antara umat siapa yang akan mendamaikannya?
Ya mereka sendiri.
Gus Dur percaya mereka bisa menyelesaikan konfliknya sendiri-sendiri?
Karena mereka walau berbeda tapi akan tetap satu. Bhineka Tunggal Ika.
Selain di konstitusi, sebetulnya ada tidak sandaran agama Islam agar tidak cepat-cepat mengatakan sesat?
Begini, ada ujar-ujar para ulama. "Pendapat seorang mujtahid atas lawannya tidak akan dianggap". Artinya kalau kita anggap sesat maka lawannya juga tidak terima. Selain itu, Islam itu sesungguhnya, Masya Allah, begitu luas.
Gus Dur menganggap MUI ini sama seperti ormas lain?
Memang iya.
Anda dulu juga anggota MUI bukan?
Dulu saya keluar dari MUI. Karena Kiai Hasan Basri juga seperti sekarang. Main klaim sesat. Saya dari awal sudah berseberangan karena saya berpatokan pada UUD. NU pada pada tahun 1935 Muktamar ke 9 di Banjarmasin itu sudah menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam. Tidak perlu negara Islam untuk menjalankan syariah. Nah, apa yang dilakukan MUI itu sudah seperti negara Islam, makanya saya tolak.
Persoalannya adalah Islam selalu dilihat dari institusi bukan ajaran. Kalau ajaran, maka perbedaan itu ditolelir. Perbedaan yang ada di Indonesia ini berasal dari abad ke 5 Hijriah. Ketika itu di Al Azhar Kairo telah diputuskan, ada yang melarang ziarah kubur dan ada yang menganjurkan ziarah kubur. Yang melarang ziarah kubur menjadi Muhammadiyah dan yang menganjurkan menjadi NU. Jadi perbedaan itu ternyata sudah ada dari dulu. Tidak ada masalah apa-apa. Tapi Jusuf Kalla mengusulkan harus jadi satu ru'yah. Padahal mereka itu sudah lain-lain.
Apakah Gus Dur bisa menjamin bahwa NU tidak akan mengintervensi atau bahkan mengganggu kehidupan beragama kelompok lain?
Tidak bisa menjamin-jamin. Kita berusaha saja mendidik diri kita kembali.
Apa pendidikan yang terbaik?
Kembali ke konstitusi. Karena hanya itu dasar negara ini. ....


http://www.adilnews .com/?q=en/ gus-dur-kembali- ke-konstitusi
Read More......

Opini

Islam Tidak Mengajarkan Anarkisme
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(an-Nahl [16]:125)

Firman Allah Swt ini memberikan petunjuk dengan sangat jelas kepada kita bagaimana metode dakwah yang harus dipergunakan. Konsep dasar dari dakwah itu adalah “menyeru manusia kepada Tuhan” bukan kepada hal yang lain. Hal ini dipertegas dengan kata “ilaa sabiili Rabbika”. Jadi kita diminta untuk mengajak umat manusia menuju jalan Tuhan. Tapi hal ini juga sering disalah persepsikan sehingga ruang lingkup dakwah menjadi sempit, ketika dakwah hanya dimaknai dengan menyeru manusia kepada Islam. Sebenarnya tanpa dikatakan demikian juga konsep ketuhanan dan ketauhidan Ilahi yang sempuna hanya dimiliki oleh Islam.
Ada hal lain yang menarik untuk dikaji ketika sampai kepada bagaimana metode yang Allah Swt berikan untuk berdakwah ini ditekankan kepada masalah “bil-hikmah wa al-mauizhati al-hasanah”(dengan kebijaksanaan dan nasehat yang baik) disana jelas tergambar apa yang menjadi visi dari dakwah itu sendiri yaitu penaklukan hati manusia dan menggunakan cara-cara yang santun, lembut dan damai. Karena metode yang dikedepankan adalah “bil-hikmah wa al-mauizhati” yang kedua hal ini adalah berorientasi menyentuh wilayah hati menusia. Setelah itu disebutkan lagi step terakhir dari proses dakwah adalah “wa jaadilhum bi al-latii hiyaa ahsan” yaitu dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Dan kalau seandainya pada akhirnya terjadi proses perdebatan itupun harus menggunakan cara-cara yang terbaik. Walaupun sebenarnya yang harus kita bangun adalah bukan perdebatan tapi membangun proses dialog yang santun dan terbuka.
Sedih rasanya hati ini menyaksikan sebagian saudara-saudara umat muslim kita yang bertindak anarkis, melakukan persekusi terhadap Ahmadiyah. Mereka menyatakan diri sedang berdakwah dan berjihad atas nama Islam tetapi bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukankah Allah Swt telah menegaskan bahwa rumah ibadah siapapun dari agama dan golongan apapun tidak boleh dirusak?

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (al-Baqarah [2]:114)

Bahkan ditegaskan dalam ayat ini, orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya sebagai orang yang paling aniaya (azhlamu).
Sudah berapa banyak masjid-masjid milik Jamaah Ahmadiyah yang dirusak oleh massa yang mengatasnamakan Islam dan hal ini sangat memprihatinkan. Alih-alih mengajak umat untuk bisa memakmurkan masjid, malahan masjid yang sudah ada pun menjadi sasaran perusakan.
Jadi selesaikanlah perbedaan dengan cara-cara yang damai bukan dengan jalan kekerasan. Dan masalah keyakinan bukan manusia yang menjadi hakimnya melainkan Allah Swt lah sebagai wujud al-Hakim yang dapat memberikan penghakiman dengan seadil-adilnya.
....
.
Read More......

Mau Lihat Pesawat Boeing Landing Di atas Mobil?