PM Canada Dan Komunitas Ahmadiyah Canada

Jumat, 08 Februari 2008

Opini

MUI Dulu, MUI Sekarang


KOLOM: Hukum EDISI : 28
MUI yang dulu melang- gengkan status quo dan merestui keinginan penguasa. MUI yang sekarang memproduksi fatwa yang tak mampu menghalangi kekerasan, pengusiran dan penghancuran masjid dan sekolah. Ketika itu 7 Rajab 1395 H, atau tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, terjadi pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air.
Sekitar 53 orang orang ulama dan aktivis dari berbagai ormas Islam, seperti antara lain Muhammadiyah, NU, al Irsyad al Washilyah dan al-Ittihadiyah berkumpul di pertemuan itu untuk melakukan persalinan lembaga bernama Majelis Ulama Indonesia.
Ide pendirian MUI ketika itu konon diarahkan, direstui dan didukung penuh oleh Presiden Soeharto. Terpilihlah sebagai Ketua MUI pertama Prof Hamka.

Salah satu fungsi penting yang diemban organisasi ini ketika itu adalah memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Di awal berdirinya, saat dipimpin ulama kharismatik Buya Hamka, MUI bisa menempatkan diri sebagai organisasi independen dan berwibawa serta menjadi alat kontrol efektif terhadap pemerintah.
Salahudin Wahid mengatakan bahwa pada awal perkembangan MUI, di bawah pimpinan Hamka, MUI cukup bagus dan aspiratif dalam mengakomodasi kepentingan umat, namun lama kelamaan ternyata fungsi-fungsi mulai berubah. "MUI kemudian menjadi corong pemerintah dan kedudukannya inferior di bawah pemerintah."
Sepak terjang MUI yang seperti itu sempat menimbulkan hubungan tak harmonis dengan pemerintah Soeharto, terutama berkaitan dengan dikeluarkannya fatwa larangan mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Buntutnya, Buya Hamka terpaksa mundur dari jabatannya.
Era sesudah itu, MUI relatif dekat dengan pemerintah. Bahkan terkesan menjadi corong pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional seperti kebijakan keluarga berencana (KB) dan ekspor kodok.
MUI pulalah yang menyetujui SDSB (Sumbangan Sosial Berhadiah), dengan alasan untuk keselamatan dan persatuan bangsa padahal jelas sekali sikap itu merupakan tekanan dari Soeharto untuk menjaga keselamatan penguasa Orde Baru. Sikap itu amat sangat menyakitkan dan mengorbankan keselamatan umat, merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
MUI saat itu begitu mudahnya ditipu Abdul Gafur untuk menerima
hadirnya SDSB, seperti dikatakan mantan Menteri Agama Tarmidzi Taher, hanya dengan mengatakan "Cara pengumpulan dana seperti itu juga sudah seperti di negeri Arab. Ulama macam apa itu? Hanya dengan mendengar sudah terjadi di negara Arab, dianggap otomatis Islami" seru Tarmidzi.
Setelah kasus isu lemak babi di tahun 1988 yang meresahkan masyarakat, MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM). MUI juga kemudian memprakarsai berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diresmikan di Istana Bogor pada tanggal 30 Oktober 1991.
Sebagai lembaga masyarakat yang sempat lama mencicipi politik otoriter rezim Soeharto, MUI tidaklah bebas dari kepentingan dan bias politik. Bahkan rekam jejak MUI sedikit banyak mengisahkan lembaga yang berbau kepentingan politik.
Pada Kongres Umat Islam Indonesia bulan November 1998, masih lekang dalam ingatan publik betapa besarnya peran citra Kelompok Doa Bersama, yang terdiri dari sekelompok tokoh umat yang menggiring umat Islam untuk pejah gesang nderek Soeharto. Sikap itu dimotori MUI.
"Dulu kelompok itu selalu berdoa, agar Soeharto tetap sehat-sehat saja. Agar Soeharto memimpin bangsa ini selama-lamanya. Setelah Soeharto lengser keprabon, kelompok doa bersama mendukung BJ Habibie. Kekhasan mereka selalu memakai label-label Islam. Dulu kelompok ini berpikir Soeharto itu seolah-olah "Sayyidina
Ali". Itulah ungkapan yang mereka kembangkan, " sebut Ridwan Saidi mengenang.
Apa kiprahnya doa bersama? MUI melakukan gerakan untuk mempertahankan status quo. Lalu bermaksud mempertahankan pemerintahan Habibie yang dianggap kelanjutan dari Orde Baru.
MUI di era rezim Soeharto juga gemar melempar seruan agar umat Islam memilih wakil rakyat yang beragama Islam. Seruan itu tentu saja bermaksud mengarahkan suara umat untuk memilih Haji Muhammad Soeharto. Tokoh Cendikiawan NU Masdar Masudi melihat MUI tidak ubahnya sebagai pelicin jalan bagi pemerintah untuk mendapatkan dukungan dari umat.
Perhatian yang besar yang diberikan MUI kali itu tidak berkorelasi positif dengan kepentingan umat. Agak sulit dilupakan betapa MUI ketika lebih banyak melayani penguasa yang represif tinimbang membela hak-hak rakyat yang banyak diabaikan oleh penguasa.
Cendikiawan Muslim Said Agil Siradj oleh karenanya tak menampik betapa dalamnya keterlibatan politik MUI dalam membela penguasa. Jauh sebelum Gus Dur ingin membubarkan MUI, di tahun 1998 Said Agil mengusulkan pembubaran MUI. Alasannya antara lain karena MUI adalah organisasi produk Rezim Orde Baru, kental sekali dengan pemaksaan kehendak. Berdirinya MUI dituding Said dengan maksud untuk menyetir para ulama demi kepentingan pemerintah dalam memepertahankan status quo.
MUI pula disebut Said hanyalah organisasi ulama yang cuma menge-luarkan fatwa-fatwa tertentu dalam menyikapi situasi maupun kondisi yang sedang terjadi di Indonesia. Sikap ini samasekali tidak dibarengi dengan kualitas dakwah dan pendidikan kepada umat. Bahkan dalam mengeluarkan fatwapun MUI cenderung membela pemerintah. Kritik seperti inipun disampaikan Gus Dur dengan mengatakan MUI hanya sebagai perpanjangan tangan Departemen Agama.
Itulah kenyataan Majelis Ulama Indonesia di masa lalu. Kenyataan yang telah mengkhianati keagungan ulama sebagai Warasatal Anbiya yang seharusnya menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi dengan pemihakan kepada keadilan dan kepada nestapa kaum tertindas dari permainan politik maupun kekuasaan agama.
Fatwa MUI memang bermaksud melindungi umat, tetapi bukankah MUI juga berkewajiban untuk memberikan fatwa sesat bagi setiap upaya-upaya penyerangan yang terjadi pada pemeluk Ahamadiyah di Manislor Kuningan yang mengakibatkan kekerasan, penghancuran masjid, sekolah dan luka-luka pada anak-anak dan ibu-ibu?
MUI pula bertanggungjawab untuk melakukan dialog pemikiran kepada tarekat Wahidiyyah, atau kelompok salat dua bahasa yang mengalami pengusiran dan penangkapan karena fatwa sesat MUI.
Rakyat kini menunggu lahirnya ulama yang menyadari marwahnya sehingga mampu menjaga harga dirinya dari kepentingan politik. Karena harga seorang ulama semestinya berada di atas preferensi politik apapun. Ulama melindungi dan menjaga umat dari kebodohan, ketidakadilan, kekerasan bahkan dari kelaparan. Sudahkah itu dilakukan MUI?
http://www.adilnews .com/?q=en/ mui-dulu- mui-sekarang
.

Tidak ada komentar:

Mau Lihat Pesawat Boeing Landing Di atas Mobil?