PM Canada Dan Komunitas Ahmadiyah Canada

Senin, 15 September 2008

Islam Toleran

Toleran pada Ahmadiyah  

Oleh: Zuhairi Misrawi

Di saat sejumlah kelompok umat Islam di Jawa Barat mendesak pemerintah untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sejumlah cendekiawan, aktivis, dan pakar hukum meminta pemerintah agar membela hak warga negara JAI (14/4). Sebab sejak 1925, JAI lahir sebagai bagian dari proses pembentukan bangsa ini. Mereka mempunyai program kemanusiaan, mengedepankan kedamaian dan yang terpenting tidak pernah melakukan tindakan kriminal yang merugikan publik.


Dua kenyataan tersebut membuktikan dua fenomena yang sedang berkontestasi, yaitu “intoleransi” versus “toleransi”. Sebagian kelompok di luar JAI, khususnya sebagian ulama di Jawa Barat masih bersikukuh mengeklusi mereka dari komunitas Muslim sebagai penjabaran atas fatwa sesat yang diterbitkan MUI. Sedangkan sebagian kelompok yang lain membela hak-hak warga negara JAI di Tanah Air.

Sedangkan JAI berusaha untuk membuka diri dengan cara mengenali sosio-kultur masyarakat Muslim di Tanah Air. Kunjungan PB JAI ke pesarean pendiri NU, KH. Cholil Bangkalan dan KH. Hasyim Asy’ari beberapa waktu lalu merupakan salah satu tahapan menuju toleransi dua arah, yaitu toleransi dialogis.

Kunjungan tersebut cukup beralasan, karena dari sekian Ormas yang relatif bersikap toleran adalah kalangan NU. Setidaknya, sejauh ini tidak mengeluarkan pernyataan publik sekeras beberapa Ormas lainnya. NU berusaha melihat Ahmadiyah sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sebagiamana diungkapkan oleh KH. Masdar F. Mas’udi dalam pelbagai kesempatan, bahwa yang harus dikedepankan dalam melihat Ahmadiyah adalah hak-hak mereka sebagai warga negara. Sedangkan perbedaan cara pandang keagamaan, semuanya diserahkan kepada Allah SWT, karena Dialah yang mempunyai hak prerogratif untuk menentukan sesat dan sebaliknya (QS. al-Qalam [68]: 7). Meskipun NU berbeda pandangan dengan Ahmadiyah dalam beberapa hal, maka tidak ada alasan untuk menyesatkan mereka, apalagi menyerangnya. Demikianlah, kira-kira toleransi yang dilakukan oleh sejumlah kalangan NU.

Pasca-kunjungan ke kantong-kantong NU, khususnya pesarean para pendiri NU di atas, JAI mulai menempuh dua jalur toleransi yang penting bagi bangsa ini: Pertama, perlunya dialog-dialog kultural yang bersifat intensif dengan masyarakat Muslim lainnya. Hal tersebut diharapkan dapat mengikis kesan eksklusif yang selama ini dikalungkan kepada JAI.

Kedua, JAI dipahami oleh publik merupakan salah satu komunitas Muslim yang menghargai lokalitas dan kebudayaan, yang merupakan khazanah bangsa ini. Hal ini penting, bahwa perjalanan sejarah umat Muslim di Tanah Air merupakan perjalanan dari proses kontinyuasi yang amat panjang. Karena itu, menghargai lokalitas berarti juga menghargai sejarah bangsa ini, khususnya sejarah yang telah diletakkan oleh para ulama, pendiri bangsa ini.



Menimbang Kembali Fatwa

Secara pribadi, penulis sangat kesulitan memahami gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah kelompok, sebab tidak ada alasan untuk bersikap intoleran terhadap JAI. Sebenarnya tidak hanya mereka, MUI juga sebenarnya harus mencabut fatwa sesat yang sudah dijatuhkan pada JAI.

Pertama, JAI sudah mengeluarkan 12 butir penjelasan yang mempertegas tentang posisi teologis mereka. Di antaranya, JAI menegaskan bahwa pihaknya mengucapkan syahadat sebagaimana umat Muslim lainnya; meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai khatam al-anbiya’ (Nabi Penutup); mereka meyakini al-Quran sebagai wahyu; Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam; Hadrat Mirza Ghulam Ahmad adalah guru dan mursyid (bukan nabi); buku Tadzkirah bukanlah kitab suci, melainkan catatan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad.

Beberapa poin di atas sebenarnya membuktikan perihal keberislaman warga JAI. Keyakinan mereka secara eksplisit tidak berbeda dengan umat Islam pada umumnya, khususnya kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Perbedaan bisa dikatakan hanya bersifat sekunder-partikular (furu’iyyah) dan bukan primer-fundamental (ushuliyyah).

Dalam konteks fatwa sesat MUI dan pernyataan sejumlah tokoh, agar Ahmadiyah membuat agama baru, dengan sendirinya sudah terjawab secara tuntas dengan 12 butir di atas. Konsekuensinya, MUI sebenarnya secara moral berkewajiban untuk mencabut fatwa sesat, karena sesuai kacamata hukum Islam, bahwa ‘illat (kausa) dari vonis sesat atas Ahmadiyah sudah tidak ada lagi. Kausa yang selama ini dijadikan alasan untuk mengeluarkan fatwa sesat sudah dijawab dengan terang-benderang, bahwa akidah Ahmadiyah sebagaimana Akidah Ahlussunnah wal Jamaah pada umumnya. Mereka juga berpegang teguh ada al-Quran dan Hadis Nabi.

Dalam kaidah fikih disebutkan, sebuah hukum bisa berlaku dan tidak berlaku sesuai dengan kausanya (‘illat), yang biasa dikenal dengan al-hukmu yaduru ma’a al-‘illat wujudan wa ‘adaman. Di samping itu, menurut Prof. Dr. Khaled Aboue el-Fadl (2003) dalam Speaking in God’s Name, dalam memutuskan sebuah hukum, harus didasarkan pada prinsip kejujuran, kecerdasan, keakuratan, pengendalian diri/tidak emosional dan kemenyeluruhan.

Konsekuensi dari beberapa dasar hukum tersebut, maka tidak ada alasan untuk tidak mencabut fatwa sesat atas Ahmadiyah. Sebaliknya, bila hal ini tidak dilakukan, maka akan menjadi preseden buruk dalam penentuan sebuah fatwa. Fatwa tidak dikeluarkan berdasar kausa dan objek masalah, melainkan karena subjektivitas kepentingan tertentu. Fatwa tidak berdasarkan pemahaman yang otoritatif terhadap agama, melainkan berdasarakan otoritas yang otoriter.

Kekhawatiran seperti ini pernah disampaikan oleh Abid al-Jabiry, pemikir Muslim asal Maroko (2007) dalam tulisannya, al-fatwa wa al-jahl al-murakkab (Fatwa dan Kebodohan yang Sempurna), karena menurut dia belakangan ini kerapkali muncul fatwa keagamaan yang tidak berdasarkan otoritas keilmuan (ishdar al-fatwa min ghayr ‘ilmin). Fatwa kehilangan auranya sebagai menekanisme penentuan hukum yang menjunjung tinggi kedalaman ilmu menjadi mekanisme yang menjunjung tinggi kedangkalan dalam beragama.

Tentu saja, umat Muslim mempunyai tanggungjawab yang amat besar agar agama dibangun di atas ilmu dan amal shaleh. Tanpa keduanya, peradaban Islam akan berada di ambang kehancuran. Oleh karena itu, berkaitan dengan sejumlah kekhawatiran dan kritik di atas, MUI mestinya menjadikan fatwa sebagai momentum untuk mewujudkan ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan islami), bukan ‘adawah madzhabiyyah (pertentangan antar aliran/kelompok). Toleransi yang dibangun di atas kehendak untuk menghargai, menerima dan menghormati pendapat orang lain sejatinya dapat dijadikan landasan setiap fatwa.

Kedua, JAI dalam menghadapi fatwa dan penyerangan sejumlah pihak bersifat kooperatif. Dalam konteks kebangsaan, mereka senantiasa mengikuti proses hukum yang berlaku, termasuk tatkala kantor dan kantong-kantong mereka diserang oleh beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab. Sebagai korban, pihak yang diserang dan dirugikan, mereka memilih jalur hukum sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang menimpa mereka. Padahal mereka dirugikan, baik secara material maupun immaterial.

Hal ini merupakan teladan dalam konteks membangun demokrasi di Tanah Air. Di tengah proses penegakan hukum yang terseok-seok, dan kuatnya tarikan kekuasaan dalam ranah hukum, maka langkah yang diambil JAI merupakan cara-cara yang sesuai dengan nafas demokratisasi dan reformasi.

Ketiga, JAI—sejak awal kedatangannya di Tanah Air—senantiasa mengampanyekan dan mempraktekkan pesan anti-kekerasan, sebagaimana prinsip yang mereka pedomani, love for all hatred for none (cinta untuk semua dan tanpa ancaman).

Bukan hanya itu, mereka yang sejauh ini diusir dan diserang, justru tidak melakukan balas dendam serupa. Mereka bukan tidak mampu, tapi prinsip anti-kekerasan menjadi salah satu keyakinan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana Islam sendiri berarti kedamaian dan ketundukan kepada Tuhan. Rasulullah SAW bersabda, Islam yang paling baik adalah menebarkan perdamaian dan memberi makan, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.

Ketiga hal di atas, merupakan beberapa alasan penting kenapa kita harus toleran terhadap JAI. Semua pihak harus berbesar hati untuk merangkul, bukan memukul, apalagi sesama warga Muslim. Lebih-lebih sebagai sesama warga negara, yang memedomani Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara.

Di sini, saatnya kita mereaktualisasikan pesan para pendiri NU, bahwa toleransi merupakan sesuatu yang esensial dalam agama. Toleransi merupakan pilar dalam beragama (ukhuwwah islamiyyah), pilar dalam berbangsa (ukhuwwah wathaniyyah) dan pilar dalam berinteraksi sesama manusia (ukhuwwah basyariyyah).


Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society (MMS)
http://www.moderatemuslim.net/mms/index.php?option=com_content&task=view&id=17&Itemid=1



Tidak ada komentar:

Mau Lihat Pesawat Boeing Landing Di atas Mobil?